LEARNING
TRAJECTORY MATHEMATIC
(LINTASAN
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA)
1.
Pengertian
Istilah hipotesis lintasan belajar digunakan oleh
Simon (1995) dengan istilah Hypothetical Learning Trajectory (HLT).
Hypothetical
learning Trajectory (HLT) merupakan suatu instrument yang menjadi panduan pada
proses pelaksanaan penelitian design research, sebagai perluasan dari
percobaan pikiran (tought experiment).
Hipotesis lintasan belajar (HLB)
merupakan instrumen yang digunakan dalam penelitian desain ini yang dapat
menjembatani antara teori dengan eksperimen. HLB sesungguhnya adalah
hipotesis yang dibuat oleh peneliti mengenai proses belajar yang akan terjadi
pada saat pelaksanaan pembelajaran di kelas. Hipotesis ini dibuat untuk
mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat muncul di kelas, sehingga peneliti
dapat meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. Hal lain yang juga penting
adalah bahwa HLB dibuat berlandaskan teori yang sudah dikaji sebelumnya.
Hipotesis lintasan belajar memberikan perencanaan harian bagi guru dan
peneliti mengenai rangkaian aktivitas dalam melaksanakan eksperimen di kelas.
Di dalam HLB, peneliti memaparkan kegiatan pembelajaran yang akan
dilakukan. Kegiatan pembelajaran ini diurutkan sesuai dengan tahapan pemahaman
konsep yang biasanya termuat dalam kegiatan (Gravemeijer, 2004).
HLT berperan
pada setiap tahapan design research, berikut ini adalah peran dan posisi
HLT dalam setiap tahapan design research (Bakker, 2004).
- Tahap Preparation and design : pada tahap ini, HLT dirancang untuk membimbing proses perancangan bahan pembelajaran yang akan dikembangkan dan diadaptasi. Konprontasi antara pemikiran umum dengan kegiatan konkrit sering mengarah pada HLT yang lebih spesifik. HLT dirancang selama tahap preparation and design.
- Tahap Design Experiment : Selama percobaan pembelajaran, HLT berfungsi sebagai pembimbing (guideline) untuk guru dan peneliti apa yang akan difokuskan dalam proses pembelajaran, wawancara dan observasi. Peneliti dan guru perlu menyesuaikan HLT dengan kegiatan pembelajaran untuk pertemuan pembelajaran. Dengan HLT, proses penelitian dan pengembangan bisa lebih efisien. Perubahan dalam HLT biasanya dipengaruhi oleh kejadian di kelas yang belum dapat diantisipasi, strategi yang belum terlaksana, serta kegiatan yang terlalu sulit untuk dilaksanakan. Perubahan HLT dilakukan untuk menghasilkan kondisi yang optimal dan merupakan bagian dari data yang akan dianalisis. Perubahan HLT harus dilaporkan untuk mendukung proses pembentukan teori. HLT dapat berubah selama tahap teaching experiment.
- Tahap Restrospective Analysis : Pada tahap ini, HLT berperan sebagai petunjuk dalam menentukan fokus analisis bagi peneliti. Karena prediksi dibuat berkaitan proses belajar siswa, maka peneliti dapat membandingkan antisipasi dari prediksi melalui observasi selama percobaan pembelajaran (teaching experiment). Analisis seperti ini, menyangkut saling mempengaruhi antara HLT dan dan pengamatan empiris dapat menjadi dasar pembentukan teori. Setelah tahap ini, HLT diformulasikan kembali berdasarkan hasil temuan observasi dan analisis yang dilakukan. HLT yang baru akan menjadi petunjuk pada tahap rancangan (design phase) berikutnya.
Dengan begitu, HLT merupakan bentuk konkrit atau
pengkonkritan teori pembelajaran. Sebaliknya, teori pembelajaran dibentuk dari
pengembangan HLT. Karena HLT, memuat tiga komponen, yiatu tujuan pembelajaran,
kegiatan pembelajaran dan hipotesis pembelajaran, maka keberadaannya sangat
penting dalam seluruh tahapan design research.
HLT terdiri dari:
(1) Tujuan, yaitu tujuan dari kegiatan
pembelajaran matematika yang dilakukan. Tujuan yang dimaksud di sini adalah apa
yang akan dicapai siswa dalam kegiatan pembelajaran tersebut.
(2) Aktivitas pembelajaran
Aktifitas pembelajaran yang dirancang dengan seksama
agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
(3) Dugaan proses belajar siswa
Peneliti menduga di awal tentang bagaimana kegiatan
pembelajaran akan berlangsung dan utamanya adalah proses belajar siswa selama
kegiatan tersebut. Dengan dugaan-dugaan ini, peneliti dapat mengantisipasi
segala kemungkinan di lapangan.
v Ada beberapa pendapat para ahli mengenai learning trajectory,
adalah sebagai berikut:
Simon (dalam Bakker, 2003) mendefinisikan HLT sebagai "The hypothetical
learning trajectory is made up of three components: the learning goal that
defines the direction, the learning activities, and the hypothetical learning
process a prediction of how the students’ thinking and understanding will
evolve in the context of the learning activities".
Yang berarti HTL
terdiri dari tiga komponen : tujuan pembelajaran yang mendefinisikan arah
(tujuan pembelajaran), kegiatan belajar, dan hipotesis proses belajar untuk
memprediksi bagaimana pikiran dan pemahaman siswa akan berkembang dalam konteks
kegiatan belajar.
Istilah alur belajar adalah pertama kali digunakan oleh Simon
(dalam Bardsley, 2006) yaitu hypothetical learning trajectory (HLT).
Menurut Simon : “Hypothetical learning trajectories are defined by
reseacher-developers as goals for meaningful learning, a set of tasks to
accomplish those goals, and a hypothesis about students’ thinking and
learning“. Yang berarti alur
belajar yang bersifat hipotetik atau alur belajar hipotetik terdiri atas tiga
komponen utama yaitu: tujuan belajar untuk pembelajaran bermakna, sekumpulan
tugas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan hipotesis tentang bagaimana
peserta didik belajar dan bagaimana peserta didik berpikir. Tujuan belajar yang
dimaksudkan di sini dapat berupa memahami suatu konsep atau memecahkan suatu
masalah matematika. Simon pertama kali menggunakan alur belajar hipotetik untuk
mendesain suatu pembelajaran singkat yang meliputi satu atau dua kali
pertemuan.
Lintasan belajar bersifat hipotetis
karena, sampai siswa betul-betul belajar dengan masalah yang ada, kita tidak
bisa yakin apa yang akan mereka lakukan atau apa dan bagaimana mereka akan
membangun interpretasi-interpretasi, ide-ide dan strategi-strategi baru. Para
guru mengharapkan murid-muridnya untuk memecahkan masalah dengan sebuah cara
yang mutlak. Atau, yang sedikit lebih baik, harapan mereka berbeda-beda pada
setiap murid yang berbeda. Gambaran berikut menunjukkan bentuk sebuah lintasan
belajar hipotesis (hypothetical learning trajectory).
Bagaimana hubungan
antara alur belajar dengan alur belajar hipotetik?
Simon
menggunakan pengandaian perjalanan berlayar untuk menjelaskan tentang lintasan
belajar ini:
“Anda
mungkin pada awalnya merencanakan perjalanan anda seutuhnya atau hanya
sebagiannya saja. Anda mengatur pelayaran anda berdasarkan pada rencana anda.
Namun, anda harus mampu menyesuaikan diri karena kondisi-kondisi yang anda alami.
Anda kemudian berusaha memperoleh pengetahuan tentang berlayar, tentang kondisi
terkini, dan tentang daerah-daerah yang anda akan datangi. Anda kemudian
mengubah semua rencana anda sesuai dengan urutan tujuan-tujuan anda. Anda lalu
memodifikasi lama dan bentuk awal dari perjalanan anda sebagai hasil dari
interaksi-interaksi dengan orang-orang yang anda temui dijalan. Anda
menambahkan tempat-tempat tujuan yang sebelumnya belum anda ketahui. Jalan yang
anda lalui adalah lintasan anda yang sesungguhnya. Jalan yang anda antisipasi
pada sembarang titik adalah lintasan hipotesis (hypothetical trajectory)
anda.”
Berdasarkan ilustrasi
yang digambarkan oleh Simon bahwa alur belajar memberikan gambaran secara utuh
tentang apa yang terjadi atau yang kita temui, daerah yang kita singgahi
sepanjang perjalanan. Dengan demikian dalam pemecahan masalah sebuah alur
belajar akan memberikan gambaran tentang pengetahuan prasyarat yang telah
dimiliki peserta didik (sebagai titik start) dan setiap langkah dari satu titik
ke titik berikutnya menggambarkan proses berpikir yang mereka gunakan, metode
yang mereka pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang mereka tunjukkan.
Menurut
Chuang-Yih Chen (2002) “The learning trajectory is made up of three components:
the learning goals, the learning activities, and the hypothetical learning
process“. Jadi menurut Chuang-Yih Chen alur belajar terdiri atas tiga
komponen yaitu tujuan-tujuan belajar (the learning goals),
aktivitas belajar (the learning activities) dan proses belajar hipotetik
(hypothetical learning process). Chuang (2002), menerapkan alur belajar
dalam pemecahan masalah. Chuang lebih melihat alur belajar sebagai barisan
aktivitas atau proses. Alur belajar tesebut sebagai berikut :
0.
Naïve Judgment
1. Surface
Explanation
2-1. Incomplete
Explanation with
|
2-2.
Incomplete Explanation without
|
|
Improper
Arguments
|
Improper
Arguments
|
|
3-1&
3-2. (Towards) Complete Explanation
4. Beyond
Complete Explanation
Komponen-komponen definisi
yang dikemukakan oleh Simon dan definisi yang dikemukakan oleh Chuang- Yih Chen
dapat dibandingkan pada tabel berikut:
No
|
Komponen
|
definisi
|
menurut
|
Komponen definisi menurut
|
Simon
|
Chuang- Yih Chen
|
|||
1.
|
Tujuan-tujuan belajar
|
Tujuan-tujuan belajar
|
||
(goals for meaningful learning),
|
(the learning goals),
|
|||
2.
|
Sekumpulan
|
tugas untuk
|
mencapai
|
Aktivitas belajar
|
tujuan. (a set of tasks )
|
(the learning activities)
|
|||
3.
|
Suatu hipotesis tentang bagaimana
|
Proses belajar yang
bersifat
|
||
anak belajar dan
bagaimana anak
|
hipotesis
|
|||
berpikir. (a
|
hipothesis
|
about
|
(the hypothetical learning process)
|
|
students’ thinking and learning)
|
Tabel 2.3 Perbandingan
antara definisi Chuang dan definisi Simon tentang alur belajar
Menurut Hadi (2006)
alur belajar hipotetik adalah dugaan seorang desainer atau seorang peneliti
mengenai kemungkinan alur belajar yang terjadi di kelas pada saat merancang
pembelajaran. Karena bersifat hipotetik tentu tidak selalu benar. Pada
kenyataannya memang banyak salah karena apa yang terjadi di kelas sering tak
terduga. Setelah peneliti (dalam hal ini desainer) melakukan uji coba,
diperoleh alur pembelajaran yang sebenarnya, itulah yang disebut dengan alur
belajar. Pada siklus pembelajaran berikutnya alur belajar tadi dapat dijadikan
sebagai sebuah alur belajar hipotetik yang baru. Hadi (2006), dalam tulisannya Adapting
European Curriculum Material For Indonesian Schools, memberikan
contoh sebuah alur belajar hipotetik, untuk pembelajaran materi pecahan
di sekolah dasar. Adapun alur belajar tersebut adalah sebagai berikut:
Soedjadi (2007) menjelaskan bahwa secara umum perkembangan
kemampuan kognitif anak mulai dengan hal yang konkrit secara bertahap mengarah
ke hal yang abstrak. Bagi setiap anak perjalanan dari konkrit ke abstrak dapat
saja berbeda. Ada yang cepat dan ada yang lamban sekali. Bagi yang cepat
mungkin tidak memerlukan banyak tahapan, tetapi bagi yang tidak cepat, tidak
mustahil perlu melalui banyak tahapan. Dengan demikian bagi setiap anak mungkin
saja memerlukan learning trajectory atau alur belajar yang berbeda.
Alur belajar hipotetik
adalah suatu dugaan tentang rangkaian aktivitas yang dilalui anak dalam me
memecahkan suatu masalah atau memahami suatu konsep. Sedangkan alur belajar
adalah suaturangkaian aktivitas yang secara aktual dilalui anak dalam
memecahkan suatu masalah atau memahami suatu konsep. Dalam mengungkap alur
belajar maka terlebih dahulu dirumuskan alur belajar hipotesis Dalam
pelaksanaan/uji coba alur belajar hipotetik mungkin mengalami beberapa
perubahan atau perbaikan. Alur yang diperoleh berdasarkan beberapa revisi
tersebut itulah yang disebut dengan alur belajar. Jadi alur belajar yang
merupakan hasil revisi terhadap alur belajar hipotetik berdasarkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat pembelajaran berlangsung.
2.
Manfaat
Alur Belajar / Learning Trajectory
Dalam setiap siklus penelitian desain secara makro, kita dapat
membagi dalam tiga tahap yaitu tahap desain awal, tahap eksperimen dan tahap
analisis retrospeksi (retrospective analysis). Pada tahap desain awal
termasuk di dalamnya menghubungkan antara dua bagian utama yaitu, pengembangan
suatu alur belajar hipotetik dan desain aktivitas belajar. Jadi merumuskan atau
mengembangkan sebauh alur belajar hipotetik merupakan langkah pertama dalam
sebuah siklus penelitian. Dikatakan alur belajar hipotetik kerena bersifat
individual dan selalu dapat dirubah.
Sebuah alur belajar
memberikan petunjuk bagi guru untuk menentukan dan merumuskan tujuan-tujuan
pembelajaran yang akan dicapai. Selanjutnya guru dapat membuat
keputusan-keputusan tentang langkah-langkah strategi yang akan digunakan untuk
mewujutkan tujuan-tujuan tersebut. Sebelum menentukan langkah-langkah yang akan
ditempuh dalam pembelajaran atau pemecahan masalah, guru seharusnya memiliki
terlebih dahulu informasi tentang pengetahuan prasyarat, strategi berpikir yang
digunakan anak, level berpikir yang mereka tunjukkan dan bagaimana variasi
aktivitas yang dapat menolong mereka mengembangkan pemikiran yang dibutukan
untuk tujuannya tersebut. Semuanya termuat dalam alur belajar hipotesis
Informasi-informasi itu
dapat diperoleh melalui observasi, pre-tes, atau penilaian lain. Berdasarkan
observasi, penilaian, dan informasi lain yang telah dikumpulkan, guru dapat
mengetahui alur belajar ataupun tingkat berpikir yang dimiliki anak saat itu. Dengan
mengetahui level dan alur pikir yang dimiliki anak, dalam proses pembelajaran
kita dapat mengetahui mana yang harus didahulukan dalam proses pengembangannya.
Alur belajar memberikan suatu kerangka kerja bagi guru untuk mengembangkan
pengetahuan tentang berpikir dan belajar peserta didik. Selanjutnya pengetahuan
tentang berpikir dan belajar peserta didik dapat digunakan untuk merencanakan
pembelajaran.
Memformulasikan suatu alur belajar hipotetik dapat didasarkan pada
salah satu jenis sumber seperti: konjektur tanpa data empirik, eksperimen atau
pengalaman mengajar, pretes dan postes, interviu atau protokol tertulis dari
beberapa pertanyaan, analisis tugas terstruktur dan seterusnya (Chuang- Yih
Chen, 2002). Dalam proses memformulasikan alur belajar hipotetik, tujuan
belajar (learning goals) dapat diuraikan dalam sub-sub tujuan (subgoals),
sedangkan proses belajar disusun berdasarkan data empirik. Jika tujuan belajar
(learning goals) dapat dikorelasikan dengan proses belajar akan
mempermudah seorang guru dalam menyusun kerangka kerja untuk mendesain
pembelajaran dan penilaian.
Berikut ini adalah
sebuah siklus pembelajaran yang memuat alur belajar yang dikonstruk oleh guru
untuk perencanaan pembelajaran yang mengacu pada: (a) tujuan
belajar, (b) pengaturan pembelajaran dan aktivitas,
dan (c) proses belajar yang mungkin untuk melibatkan peserta didik secara
aktif.
Alur belajar
hipotetik
Pengetahuan
Tujuan belajar
Perencanaan
aktivitas
Interaksi
Proses belajar
hipotetik
Gambar2.3:
Siklus pembelajaran matematika menurut Simon (dalam Leikin R & Dinu S.,
2002)
3.
Contoh
Hypothetical Learning Trajectory
(HLT)
Ø Contoh Pertama
1.
Pengenalan konsep dasar perkalian
sebagai penjumlahan berulang, seperti :
2. Tabel
perkalian sampai 10 yang dikaitkan dengan makna perkalian sebagai penjumlahan
berulang. Tabel perkalian ini diajarkan secara bertahap, mulai dari kelas III
sampai kelas IV. Untuk memudahkan siswa menentukan hasil perkalian, ada
beberapa strategi yang diajarkan untuk mendukung pengetahuan siswa, diantaranya
adalah sebagai berikut :
a) Tabel jaringan perkalian (productive
network): one time more, one time less, a half, and double.
Siswa mulai dari perkalian yang sudah dia kuasai, lalu membuat jaringan
perkalian berdasarkan hasil yang telah diperoleh, tanpa harus memulai dari
perkalian 1. Model yang dapat digunakan untuk membantu siswa adalah garis
bilangan dan susunan benda-benda, seperti terlihat pada gambar berikut.
Selanjutnya, siswa diarahkan membuat jaringan perkalian sendiri yang
lebih abstrak, misalnya seperti berikut :
Dengan adanya jaringan perkalian di atas, siswa lebih memahami makna
perkalian dan bahkan siswa bisa menentukan hasil perkalian sebesar-besarnya
dengan melipatduakan. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa bahwa perkalian
itu bukan suatu hafalan yang sulit, melainkan hubungan antara bilangan yang
bermakna dan menakjubkan.
b) Perkalian dengan bilangan yang mudah, seperti perkalian 2, perkalian
5, dan perkalian 10.
c) Sifat komutatif
Salah satu model untuk mengenalkan sifat komutatif adalah model
persegipanjang sebagai berikut :
Berdasarkan model di atas, siswa diharapkan dapat menyimpulkan bahwa
banyak petak satuan adalah 3+3+3+3 = 4×3 = 12 atau 4+4+4 = 3×4 = 12.
d) Dua kali lipat (doubling) dilakukan secara bersamaan dengan setengah
(halfing), sebagai contoh 2×3 = 1×6, 4×5 = 2×10
3.
Perkalian terhadap 10, 100, 1000,
dst, seperti 3 x 40; 40 x 3; 3 x 400; 400 x 3
4.
Estimasi 3 x 99 dengan cara 3
kurangnya dari 3 x 100, artinya 3×100 – 3 = 297
5.
Strategi pemisahan (splitting
strategy) seperti 7 x 24 = 140 + 28 = 168
6.
Strategi kolom (notasi untuk splitting)seperti:
7.
Pengantar ke algoritma perkalian
(di kelas IV SD)
8.
Algoritma perkalian (di kelas V
SD), seperti
Algoritma perkalian ini menjadi bermakna bagi siswa jika karena
didahului dengan lintasan belajar pada tahap sebelumnya.
Ø Contoh Kedua
Hypothetical
Lerning Trajectory terdiri dari tiga:
- Goal (Tujuan)
- Activity (Aktifitas)
- Hypothesis (Pemikiran siswa atau student thinking)
Materi:
Perbandingan Trigonometri Segitiga Siku-Siku
Goal
: Perbandingan Trigonometri Segitiga Siku-siku
Activity
:
ü Guru menjelaskan materi tentang
perbandingan trigonometri segitiga siku-siku
ü Guru mengajak siswa untuk dapat
mengaitkan hubungan antara materi perbandingan segitiga siku-siku dan pokok
bahasan sebelumnya
ü Guru memberikan latihan soal untuk
mengasah pemahaman siswa, dan siswa menyelesaikan latihan soal tersebut
Hypothesis :
ü Sebagian siswa yang mengerti materi sebelumnya,
bisa mengerjakan latihan soal yang diberikan
ü Siswa belum bisa membedakan mana
sisi depan, sisi miring, dan sisi samping dari suatu segitiga apabila diberikan
soal dengan segitiga yang berbeda, contohnya :
Guru
memberikan soal untuk mencari nila-nilai perbandingan trigonometri segitiga
siku-siku:
Siswa
menjawab :
- Jika sudutnya di B siswa menduga bahwa sisi miring (a) adalah sisi samping (c)
- Jika guru memberikan soal segitiga sama kaki, dan sudutnya terletak di B, siswa akan mengira bahwa sisi AC merupakan sisi depan sudut B.
Goal
: Phytagoras
Activity
:
ü Guru mengulang kembali materi
phytagoras, rumus dan segitiga apa saja yang nilainya bisa dicari dengan
menggunakan phytagoras
ü Tanya jawab dengan siswa, dan
mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari
Hypothesis :
ü Guru bertanya kepada siswa
“pernahkah siswa mendengar kata phytagoras?”
Siwa
menjawab “ya dan tidak”
ü Guru kembali menanyakan kepada siswa
yang menjawab pernah mendengar phytagoras dan menyuruh siswa untuk menjelaskan
apa itu phytagoras?
Dan
apabila konsep dasar yang dimiliki siswa itu salah, guru harus menjelaskan lagi
konsep mengenai phytagoras yang menjadi materi dasar untuk melanjutkan ke
materi perbandingan trigonometri segitiga siku-siku
Siswa
menjawab:
· Phytagoras adalah penjumlahan
kuadrat dalam segitiga
· Phytagoras adalah hasil penjumlahan
kuadrat sisi tegak dan sisi samping yang menghasilkan sisi miring
Goal
: Memahami sudut dalam segitiga
Activity
:
ü mengulang kembali macam-macam sudut
dan
ü tanya jawab dan mengaitkan materi
dengan kehidupan sehari-hari
Hyphotesis :
ü Guru bertanya kepada siswa “ada
beberapa macam sudut?”
Siswa
menjawab “sudut lancip, sudut tumpul, dan sudut siku-siku” jawaban seperti ini
mungkin muncul dalam pikiran siswa karena materi sudut sudah diajarkan sejak di
sekolah dasar
ü Menanyakan kepada siswa bangunan
sekitar yang ada kaitannya dengan sudut?
Misalnya:
ü “kita sekarang sedang berada
diruangan yang berbentuk apa?” siswa menjawab “balok”, guru ”balok itu
memiliki sudut yang berbentuk apa?”, siswa “ 90° ” bu…
Goal
: Memahami segitiga dan kesebangunan dalam segitiga
Activity
:
ü Mengulangi kembali materi segitiga
dan kesebangunan segitiga
ü Tanya jawab dan menunjukkan media
pembelajaran yang berhubungan dengan segitiga dan kesebangunan segitiga
ü Mengaitkan materi segitiga dan
kesebangunan segitiga dengan kehidupan sehari-hari
Hypothesis :
ü Sebagian siswa lupa tentang materi
kesebangunan dan mengira bahwa sebangun itu adalah sama besar atau segitiganya
sejenis
ü Guru bertanya kepada siswa sambil
menunjukkan media pembelajaran (macam2 segitiga) “apakah segitiga ini
sebangun?” siswa menjawab “sebangun, karena sama-sama segitiga sama kaki/ sama
sisi/ siku-siku”
TEORI BELAJAR MATEMATIKA
v ALIRAN PSIKOLOGI TINGKAH LAKU
1. Teori Belajar Thorndike
2. Pavlov
3. Baruda
4. Skiner
5. Ausubel
6. Gagne
Aliran
tingkah laku (behaviorisme) berkesimpulan bahwa studi tentang belajar itu harus
berdasarkan kepada pengamatan tingkah laku manusia yang nampak, sebab menurut
teori ini manusia itu adalah organisme pasif yang bisa dikontrol, dan tingkah
laku manusia itu bisa dibentuk melalui ganjaran dan hukuman.
A.
TEORI
BELAJAR THORNDIKE
Edward L.
Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi
antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang
terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal – hal yang
dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, persaan atau
gerakan ( tindakan ). Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike
perubahan atau tingkah laku akibat kegitan belajar itu dapat berwujud kongkrit
yaitu dapat diamati.
Teori
belajar stimulus respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga Koneksionisme.
Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan
hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum yang
dikemukakan Thorndike, yang mengakibatkan munculnya stimulus respon ini, yaitu
hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of
exsercise) dan hukum akibat (law of effect).
1. Hukum
Kesiapan (law of readiness)
Hukum
ini menerangkan bagaimana kesiapan seseorang siswa dalam
melakukan suatu kegiatan. Seorang siswa yang mempunyai kecenderungan untuk
bertindak atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan
kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya.
Seorang
siswa yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan kemudian bertindak,
sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi dirinya, akan selalu
menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang melahirkan ketidakpuasan
tersebut.
Dari
ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa seorang siswa akan lebih berhasil
belajarnya, jika ia telah siap untuk melakukan kegiatan belajar.
2. Hukum
Latihan (law of excercise)
Menyatakan
bahwa jika hubungan stimulus respon sering terjadi akibatnya hubungan akan
semakin kuat. Sedangkan makin jarang hubungan stimulus respon dipergunakan,
maka makin lemahlah hubungan yang terjadi.
Hukum
latihan pada dasarnya mengungkapkan bahwa stimulus dan respon memiliki hubungan
satu sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering terjadi, dan makin
banyak kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersirfat
otomatis. Seorang siswa dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya
akan segera melakukan tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada
waktu sebelumnya.
Kenyataan
menunjukkan bahwa pengulangan yang akan memberikan dampak positif adalah
pengulangan yang frekuensinya teratur, bentuk pengulangannya tidak membosankan
dan kegiatannya disajikan dengan cara yang menarik.
Sebagai
contoh untuk mengajarkan konsep pemetaan pada siswa, guru menguji apakah siswa
sudah benar-benar menguasai konsep pemetaan. Untuk itu guru menanyakan apakah
semua relasi yang diperlihatkannya itu termasuk pemetaan atau tidak. Jika
tidak, siswa diminta untuk menjelaskan alasan atau sebab-sebab kriteria
pemetaan tidak dipenuhi. Penguatan konsep lewat cara ini dilakukan dengan
pengulangan. Namun tidak berarti bahwa pengulangan dilakukan dengan bentuk
pernyataan dan informasi yang sama, melainkan dalam bentuk informasi yang
dimodifikasi, sehingga siswa tidak merasa bosan.
3. Hukum
akibat (law of effect)
Thorndike
mengemukakan bahwa suatu tindakan akan menimbulkan pengaruh bagi tindakan yang
serupa. Ini memberikan gambaran bahwa jika suatu tindakan yang dilakukan
seorang siswa menimbulkan hal-hal yang mengakibatkan bagi dirinya, tindakan
tersebut cenderung akan diulanginya. Sebaliknya tiap-tiap tindakan yang
mengakibatkan kekecewaan atau hal-hal yang tidak menyenangkan, cenderung akan
dihindarinya. Dilihat dari ciri-cirinya ini hukum akibat lebih mendekati
ganjaran dan hukuman.
Dari
hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya
ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan dari siswa, dan cenderung untuk
berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu. Guru
memberi senyuman wajar terhadap jawaban siswa, akan semakin menguatkan konsep
yang tertanam pada diri siswa. Katakan “Bagus”, “Hebat”, “Kau sangat teliti ”,
dan semacamnya akan merupakan hadiah bagi siswa yang kelak akan meningkatkan
dirinya dalam menguasai pelajaran. Stimulus ini termasuk reinforcement.
Sebaliknya
guru juga harus tanggap terhadap respon siswa yang salah. Jika kekeliruan siswa
dibiarkan tanpa penjelasan yang benar dari guru, ada kemungkinan siswa akan
menganggap benar dan kemudian mengulanginya. Siswa yang menyelesaikan tugas
atau pekerjaan rumah, namun hasil kerjanya itu tidak diperiksa oleh gurunya,
ada kemungkinan beranggapan bahwa jawaban yang dia berikan adalah benar.
Anggapan ini akan mengakibatkan jawaban yang tetap salah di saat siswa
mengikuti tes.
Demikian
pula siswa yang telah mengikuti ulangan dan mendapat nilai jelek, perlu
diberitahukan kekeliruan yang dilakukannya pada saat siswa diberi tes berulang,
namun hasilnya tetap buruk. Ada kemungkinan konsep yang dipegangnya itu
dianggap sebagai jawaban yang benar. Penguatan seperti ini akan sangat
merugikan siswa. oleh karena itu perlu dihilangkan.
Dari
hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa jika terdapat asosiasi yang kuat
antara pertanyaan dan jawaban, maka bahan yang disajikan akan tertanam lebih
lama dalam ingatan siswa. selain itu banyaknya pengulangan akan sangat
menentukan lamanya konsep diingat siswa. Makin sering pengulangan dilakukan
akan semakin kuat konsep tertanam dalam ingatan siswa.
B.
TEORI
BELAJAR PAVLOV
Pavlov
adalah seorang ilmuwan berkebangsaan Rusia. Ia
terkenal dengan teori belajar klasiknya dan seorang penganut aliran tingkah
laku (Behaviorisme) yaitu aliran yang berpendapat, bahwa hasil belajar
manusia itu didasarkan kepada pengamatan tingkah laku manusia yang terlihat
melalui stimulus respons dan belajar bersyarat (Conditioning Learning).
Menurut aliran ini tingkah laku manusia termasuk organisme pasif yang bisa
dikendalikan. Tingkah laku manusia bisa dikendalikan dengan cara memberi
ganjaran dan hukuman.
Pavlov
mengadakan penelitian terhadap perilaku anjing yaitu mempelajari proses
pencernaan pada anjing, lalu mengamati anjing bila melihat makanan maka akan
keluar air liurnya. Dalam penelitiannya anjing dikurung dalam suatu kandang
selanjutnya setiap akan memberi makan, Pavlov membunyikan bel. Ia memperhatikan
bahwa setiap dibunyikan bel pada jangka waktu tertentu anjing itu mengeluarkan
air liurnya. Akhirnya dicoba dibunyikan bel itu tetapi tanpa diberi makanan.
Ternyata anjing itu tetap mengeluarkan air liurnya. Dalam percobaan itu makanan
atau bunyi bel jadi perangsang atau stimulus bagi keluarnya air liur anjing
atau yang menimbulkan selera anjing untuk makan. Makanan disebut stimulus tak
bersyarat, karena terjadinya secara wajar, sedangkan bunyi bel disebut stimulus
bersyarat.
Pavlov
mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning) dalam hubungannya dengan
kegiatan belajar mengajar, misalnya agar siswa mengerjakan soal PR dengan baik,
biasakanlah dengan memeriksanya atau memberi nilai terhadap hasil pekerjaannya.
C.
TEORI
BELAJAR ALBERT BARUDA
Albert
Baruda merupakan tokoh Aliran Tingkah Laku. Ia terkenal dengan belajar
menirunya. Baruda menyangkal pendapat Skinner yang mengatakan bahwa respon yang
diberikan siswa yang disertai penguatan itu selalu esensial. Hal tersebut
berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya dan penelitian teman-temannya.
Baruda
mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru hal-hal yang dilakukan oleh
orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru bicara sopan santun
dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji,
menerangkan dengan jelas dan sistematik maka siswa akan menirunya. Demikian
pula jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun akan menirunya.
D.
TEORI
BELAJAR SKINNER
Burrhus
Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan
yang amat penting dalam proses belajar.
Terdapat
perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan respon yang
sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya subyektif,
sedangkan penguatan merupakan suatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan
suatu respon dan lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan
diukur.
Teori
Skinner menyatakan penguatan terdiri atas penguatan positif dan penguatan
negatif. Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika penguatan
tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku siswa dalam melakukan pengulangan
perilakunya itu. Dalam hal ini penguatan yang diberikan kepada siswa memperkuat
tindakan siswa, sehingga siswa semakin sering melakukannya.Contoh penguatan positif
diantaranya adalah pujian yang diberikan kepada siswa, sikap guru yang
menunjukkan rasa gembira pada saat siswa bisa menjawab dengan benar.
Penguatan
positif akan berbekas pada diri siswa. Mereka yang mendapat pujian setelah
berhasil menyeleaikan tugas atau menjawab pertanyaan dengan benar biasanya akan
berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang
berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi siswa untuk rajin belajar dan
mempertahankan prestasinya. Penguatan yang seperti ini sebaiknya segera
diberikan dan jangan ditunda-tunda.
Penguatan
negatif adalah bentuk stimulus yang lahir akibat dari fespon sisw yang kurang
atau tidak diharapkan. Penguatan negative diberikan agar respon yang tidak
diharapkan atau tidak menunjang pada pelajaran tidak diulangi siswa. Penguatan
negatif itu dapat berupa teguran, peringatan atau sangsi. Namun untuk mengubah
tingkah laku siswa dari negatif menjadi positif guru perlu mengetahui psikologi
yang dapat digunakan untuk memperkirakan (memprediksi) dalam mengendalikan
tingkah laku siswa.Di dalam kelas guru mempunyai tugas untuk mengarahkan siswa
dalam aktivitas belajar, karena pada saat tersebut kontrol berada pada guru,
yang berwenang memberikan instruksi ataupun larangan pada siswanya.
E.
TEORI
BELAJAR ASUBEL
Ausubel
terkenal dengan teori belajar bermaknanya. Menurut Ausubel bahan pelajaran yang
dipelajari haruslah “ bermakana” artinya bahan pelajaran itu harus cocok
dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki
siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang
sudah dimiliki siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap
olehnya. Dengan demikian faktor intelektual, emosional siswa tersebut terlibat
dalam kegiatan pembelajaran.
Ausubel
membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar
menemukan, konsep dicari/ditemukan oleh siswa. Sedangkan pada belejar menerima
siswa hanya menerima konsep atau materi dari guru, dengan demikian siswa
tinggal menghapalkannya. Selain itu Ausubel juga membedakan antara brelajar
menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal, siswa menghafalkan
materi yang sudah diperolehnya tetapi pada belajar bermakna, materi yang telah
diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih bisa
dimengerti.
Ausubel
menentang pendapat yang mengatakan bahwa metode penemuan dianggap sebagai suatu
metode mengajar yang baik karena bermakna, dan sebaliknya metode ceramah adalah
metode yang kurang baik karena merupakan belajar menerima. Menurutnya baik
metode penemuan maupun metode ceramah bisa menjadi belajar menerima atau
belajar bermakna, tergantung dari situasinya.
F.
TEORI
BELAJAR GAGNE
Menurut
Gagne, dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh siswa, yaitu
objek langsung dan objek tak langsung. Objek tak langsung antara lain kemampuan
menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap
matematika, dan tahu bagaimana semestinya belajar. Sedangkan objek langsung
berupa fakta, keterampilan, konsep, dan aturan.
Fakta
adalah objek matematika yang tinggal menerimanya, seperti lambang bilangan
sudut, dan notasi-notasi matematika lainnya. Keterampilan berupa kemampuan
memberikan jawaban dengan tepat dan cepat, misalnya melakukan pembagian
bilangan yang cukup besar dengan bagi kurung, menjumlahkan pecahan, melukis
sumbu sebuah ruas garis. Konsep ide abstrak yang memungkinkan kita dapat
mengelompokkan objek ke dalam contoh dan non contoh. Misalkan, konsep
bujursangkar, bilangan prima, himpunan, dan vektor. Aturan ialah objek paling
abstrak yang berupa sifat atau teorema.
Menurut
Gagne, belajar dapat dikelompokkan menjadi 8 tipe, yaitu :
1.
Belajar Sinyal : Belajar tanpa kesengajaan, yang
dihasilkan dari sejumlah stimulus ulangan yang akan menimbulkan respon dari
yang bersangkutan.
2. Belajar
S-R : Belajar ini
menghendaki adanya stimulus yang datang dari luar yang diiringi dengan respon
yang dikehendaki sehingga terjadi hubungan manunggal antara stimulus dan
respon.
3.
Belajar Merangkai : Jenis belajar ini menunjukkan adanya
dua atau lebih S-R yang digabung bersama. Misalnya membagi sudut menjadi dua
dengan menggunakan penggaris dan jangka, maka cara menggunakan penggaris dan
jangka merupakan S-R yang harus dipelajari.
- Belajar Asosiasi Verbal : Belajar ini terjadi pada waktu memberi nama suatu benda. Misalnya pada waktu mengamati benda terjadi S-R yang pertama, kemudian dikuti S-R yang kedua yaitu memberi nama suatu benda.
- Belajar Diskriminasi : Belajar ini untuk membedakan hubungan S-R agar dapat memahami macam-macam obyek atau konsep. Misalnya membedakan simbul ∩ dan U pada himpunan.
Ada dua diskriminasi :
v Diskriminasi Ganda : Misalnya siswa menyimak 30
segitiga yang beraneka ragam. Ia membedakan macam- macam segitiga tersebut.
v Diskriminasi
Tunggal : Misalnya siswa menyimak 30 macam segitiga tanpa membedakan nama
segitiga.
6.
Belajar Konsep : Belajar memahami kebersamaan
sifat-sifat dari benda-benda kongrit atau peristiwa untuk dikelompokkan menjadi
satu jenis. Misalnya segitiga sama kaki adalah ………………………..
- Belajar Aturan : Belajar aturan adalah belajar yang memungkinkan peserta didik menghubungkan dua konsep atau lebih. Misalnya hukum komutatif pada perkalian.
- Belajar memecahkan masalah : Belajar menggabungkan aturan – aturan yang lebih sederhana untuk memecahkan masalah. Misalnya menyelesaikan soal tentang pemecahan lingkaran.
Dalam pemecahan masalah, biasanya ada lima
langkah yang harus dilakukan, yaitu :
a. Menyajikan
masalah dalam bentuk yang lebih jelas
b. Menyatakan
masalah dalam bentuk yang lebih operasional
c. Menyusun
hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik
d. Mengetes
hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya
e. Mengecek
kembali hasil yang sudah diperoleh
v ALIRAN PSIKOLOGI KOGNITIF
1. Teori Belajar Jean Peaget
2. Bruner
3. Brownell
4. Dienes
5. Van Hiele
Aliran psikologi kognitif berbeda dengan
aliran psikologi tingkah laku. Menurut aliran psikologi kognitif bahwa anak
belajar itu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mentalnya. Artinya bila
seorang guru akan memberikan pengajaran harus disesuaikan dengan tahap–tahap
perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak memperhatikan perkembangan
mental siswa besar kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam menyerap materi
yang disajikan, karena tidak sesuai dengan tingkat kemampuannya.
A.
TEORI BELAJAR JEAN PIAGET
Ahli teori belajar yang sangat berpengaruh
adalah Jean Piaget. Dia adalah ahli psikologi bangsa Swiss yang meyakini bahwa
perkembangan mental setiap pribadi anak melewati empat tahap, yaitu :
a. Tahap
Sensori Motor, dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun
b. Tahap
Pra Operasi, dari sekitar umur 2 tahun sampai dengan sekitar umur 7 tahun
c. Tahap
Operasi Kongkrit, dari sekitar umur 7 tahun sampai sekitar umur 11 tahun
d. Tahap
Operasi Formal, dari sekitar umur 11 tahun dan seterusnya
Sebaran
umur pada setiap tahap tersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula
terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya,
antara individu yang satu dengan individu lainnya.
1.
Tahap
Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)
Bagi anak yang berada pada tahap
ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan
sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan
dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan
selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat
kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahan terlihat. Akhir dari
tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat
perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu
konsep objek dalam struktur kognitifnya mulai matang. Ia mulai mampu untuk
melambangkan objek fisik ke dalam simbol misalnya mulai bisa berbicara meniru
suara kendaraan.
2.
Tahap
Pra Operasi (Pre Operational Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan
untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh
Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti
mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak
benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting).
Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit
daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek yang kelihatannya
berbeda, maka ia mengatakannya berbeda pula.
Contoh
:
a) Perlihatkan
5 (lima) buah kelereng yang sama besar di atas meja. Kemudian ubahlah letak
kelereng itu menjadi agak berjauhan. Apabila dinyatakan kepada anak yang masih
pada tahap ini. Ia akan menjawab kelereng yang letaknya berjauhan lebih banyak.
Diubah menjadi
b) Perlihatkan
dua buah plastisin (lilin lunak/malam) berbentuk bola. Kemudian ubahlah (sambil
diperhatikan) menjadi bentuk pipih sehingga tampak lebih besar. Apabila
ditanyakan mana yang lebih banyak plastisin itu. Ia akan menjawab plastisin yang
bentuknya pipih.Anak berpendapat plstisin A sama dengan plastisin B, tetapi
plastisin C tidak sama dengan plastisin D.
A
|
C
|
|
B
|
D
|
|
c)
Perlihatkan kepada anak dua bejana dari gelas yang bentuk dan
ukurannya sama dengan dua bejana lainnya berbeda ukurannya. Kemudian kedua
bejana gelas yang sama tadi kita isi dengan cairan berwarna sama banyak. Sambil
diperlihatkan kepada siswa cairan pada kedua gelas yang sama tadi masing-masing
dipindahkan pada kedua gelas yang berbeda. Setelah semuanya dipindahkan lalu
tanyakan apakah kedua cairan tersebut sama banyak. Anak pada tahap perkembangan
pra operasi akan menjawab kedua cairan itu berbeda.
A
|
C
|
Dipindahkan
menjadi
B
|
Dipindahkan menjadi
|
D
|
|||
Banyak cairan
bejana C dan D tidak sama
d) Dua utas tali sama
panjang diletakkan di atas meja, kemudian rentangannya diubah. Hasilnya,
anak-anak akan mengatakan bahwa kedua tali tersebut menjadi berbeda panjangnya.
c
a diubah
menjadi
b diubah menjadi d
Anak berpendapat panjang tali a sama dengan
panjang tali b, tetapi panjang tali c tidak sama panjang dengan tali d.
e) Apabila
anak dihadapkan pada suatu daerah bidang datar (terbuat dari kertas
berwarna-warni) yang menyatakan luas, kemudian kertas itu dipotong-potong
dikumpulkan kembali dengan susunan yang berbeda seperti tampak pada gambar di
sampingnya. Anak tersebut mengatakan bahwa luas gambar sebelah kanan lebih
besar dari asalnya.
diubah menjadi
Dari contoh-contoh di atas, tampak bahwa anak
masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation),
yaitu kekekalan banyak, kekekalan materi, kekekalan volum, kekekalan panjang,
dan kekekalan luas. Selain dari itu, ciri-ciri anak pada tahap ini belum
memahami operasi yang sifatnya reversible, belum dapat memikirkan dua
aspek atau lebih secara bersamaan, belum memahami operasi transformasi (Piaget,
1972 : 39).
3. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operation Stage)
Anak-anak
yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, sehingga
sudah semestinya guru-guru SD / calon guru-guru SD mengetahui benar kondisi
anak pada tahap ini dan kemampuan apa yang belum dimilikinya.
Umumnya
anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan
benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan,
kemampuan untuk mengklasifikasi dan serasi, mampu memandang suatu objek dari
sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berfikir reversible.
Piaget
(Anderson, 1970: 126-127) mengidentifikasi adanya enam jenis konsep kekekalan
yang berkembang selama anak berada pada tahap operasi konkrit, yaitu :
a. kekekalan
banyak (6-7 tahun)
b. kekekalan
materi (7-8 tahun)
c. kekekalan
panjang (7-8 tahun)
d. kekekalan
luas (8-9 tahun)
e. kekekalan
berat (9-10 tahun)
f. kekekalan
volum (11-12 tahun)
Kemampuan
mengurutkan objek (serasi) yang dipahami oleh anak pada tahap ini berkembang
sesuai dengan pemahaman konsep kekekalan. Kemampuan mengurutkan objek
berdasarkan panjang dipahami pada usia sekitar 7 tahun, mengurutkan objek yang
besarnya sama tetapi beratnya berlainan dicapai pada umur sekitar 9 tahun, dan
mengurutkan benda menurut volumnya dicapainya pada sekitar 12 tahun.
4. Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)
Anak
sudah mulai mampu berpikir secara abstrak, dia dapat menyusun hipotesis dari
hal-hal yang abstrak menjadi dunia real, dan tidak terlalu bergantung pada
benda-benda kongkrit. Piaget menekankan bahwa proses belajar merupakan suatu
proses asimilasi dan akomodasi informasi ke dalam struktur mental. Asimilasi
adalah proses terpadunya informasi dan pengalaman baru ke dalam struktur mental.
Akomodasi adalah hasil perubahan pikiran sebagai suatu akibat adanya informasi
dan pengalaman baru. Mereka secara aktif mencoba menerima ide baru itu dalam
kaitannya dengan pengalaman baru, mereka secara aktif mencoba menerima ide baru
itu dalam kaitannya dengan pengalaman dan ide-ide lama yang sudah ada. Suatu
istilah umum untuk teori belajar Jean Piaget adalah constructivism,
karena keyakinannya bahwa para siswa pasti mengkonstruksi pikiran mereka
sendiri dan bukan menjadi penerima informasi yang bersifat pasif. Sebagai
contoh dalam operasi penjumlahan, anak memahami 5 + 3 = 8 dengan memanipulasi
benda-benda kongkret yang telah dia kenal. Misalnya dia mempunyai 5 buah jeruk,
kakanya memberikan 3 buah jeruk lagi kepada dia. Dia kumpulkan jeruk-jeruk
tersebut kemudian membilang banyaknya buah jeruk yang dia miliki saat ini.
Dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki, dia mampu menyatakan
bahwa sekarang jeruknya ada 8 buah. Sekarang dia dapat memisahkan antara konsep
banyaknya jeruk, yaitu 8 buah, yang terdapat pada suatu kumpulan dengan
cara-cara jeruk tadi ditata atau diatur, yaitu 5 dan 3 buah. Oleh sebab itu,
sekarang dia dapat mengkonstruksikan bahwa 8 sama dengan 5 + 3. Dengan
perkataan lain, anak pada tahap operasi kongkret sebagai dasar untuk berpikir
abstrak.
B. TEORI
BELAJAR BRUNER
Jerome
Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika berhasil jika proses
pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat
dalam pokok bahasan yang diajarkan.
Dengan mengenal
konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak
akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi
yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih dipahami dan
diingat anak.
Brunner,
melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya
diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat
peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan
dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu.
Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan intuitif
yang telah melekat pada dirinya.
Nampaklah,
bahwa Bruner sangat menyarankan keaktifan anak dalam proses belajar secara
penuh. Lebih disukai lagi bila proses ini berlangsung di tempat yang khusus,
yang dilengkapi dengan objek-objek untuk dimanipulasi anak, misalnya
laboratorium.
Bruner mengemukakan bahwa dalam proses
belajarnya anak melewati 3 tahap, yaitu :
1. Tahap
enaktif
Pada tahap belajar ini anak secara langsung
terlihat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek.
2. Tahap
ikonik
Pada tahap belajar ini kegiatan yang dilakukan
anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek-objek pada
tahap sebelumnya. Dengan kata lain anak dapat membayangkan kembali atau
memberikan gambaran dalam pikirannya tentang benda atau peristiwa yang dialami
yang dikenalnya pada tahap enaktif.
3. Tahap
Simbolik
Pada
tahap ini siswa sudah mampu menggunakan notasi atau simbol tanpa ketergantungan
terhadap objek riil.Jadi apabila ia melihat suatu simbol maka bayangan mental yang ditandai oleh simbol
itu akan dikenalnya kembali.
C. TEORI
BELAJAR WILLIAM BROWNELL
Teori
belajar William Brownell didasarkan pada keyakinan bahwa anak-anak pasti
memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau
secara terus-menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak
untuk mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan
benda-benda tertentu ketika mereka mempelajari konsep matematika. Sebagai
contoh, pada saat anak-anak baru pertama kali diperkenalkan dengan konsep
membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep itu jika mereka menggunakan
benda kongkret yang mereka kenal, seperti mangga, kelereng, bola, atau sedotan.
Dengan kata lain, teori belajar William Brownell ini mendukung penggunaan
benda-benda kongkret untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami
makna dari konsep dan keterampilan baru yang mereka pelajari. Teori belajar
William Brownell ini dikenal dengan nama Meaning Theory.
D. TEORI
BELAJAR GESTALT
Tokoh
aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan Kegiatan
pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut
ini :
(a) Penyajian
konsep harus lebih mengutamakan pengertian
(b) Pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siwa, dan
(c) Mengatur
suasana kelas agar siswa siap belajar
Dari
ketiga hal di atas, dalam menyajikan pelajaran guru jangan memberikan konsep
yang harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman
terhadap proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal
ini guru bertindak sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan proses melalui metode induktif.
Pendekatan
dan metode yang digunakan tersebut haruslah disesuaikan pula dengan kesiapan
intelektual siswa. siswa SMP masih ada pada tahap operasi konkret, artinya jika
ia akan memahami konsep abstrak matematika harus dibantu dengan menggunakan
benda kongkrit. Oleh karena itu dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran
mulailah dengan menyajikan contoh-contoh kongkret yang beraneka ragam, kemudian
mengarah pada konsep abstrak tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan
proses pembelajaran bisa berjalan secara bermakna.
Kita
ketahui bahwa faktor eksternal bisa mempengaruhi pelaksanaan dan hasil belajar
siswa. Oleh karena itu, sebelum, selama, dan sesudah mengajar guru harus
pandai-pandai (berusaha) untuk menciptakan kondisi agar siswa siap untuk
belajar dengan perasaan senang, tidak merasa terpaksa.
E. TEORI
BELAJAR DIENES
Zoltan P.
Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara
pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan
pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sehingga sistem yang
dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes
berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai pelajaran
tentang struktur, klasifikasi tentang struktur,relasi-relasi dalam struktur dan
mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Ia meyakini
bahwa setiap konsep atau prinsip dalam matematika akan dapat dipahami secara
penuh konsep tersebut,apabila disajikan dalam bentuk kongkrit dengan berbagai
macam sajian. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam
bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam
pengajaran matematika.
Dienes
membagi 6 tahapan secara berurutan dalam menyajikan konsep matematika, yaitu
sebagai berikut.
1.
Tahap Bermain Bebas
Tahap
bermain bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak diarahkan.
Pada kegiatan ini, memungkinkan anak untuk mengadakan percobaan dan
mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda kongkrit dari unsur-unsur yang sedang
dipelajarinya. Pada tahap permainan
bebas anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan
lingkungan belajar atau alam sekitar. Dalam tahap ini juga anak tidak hanya
belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap
dan mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.
2.
Tahap Permainan
Dalam
permainan yang disertai aturan, anak-anak sudah mulai meneliti pola-pola dan
keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin
terdapat dalam konsep tertentu tetapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya.
Anak yang telah memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat
mulai melakukan permainan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan anak-anak
diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika. Makin banyak bentuk-bentuk yang
berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, maka akan semakin jelas
konsep yang dipahami anak. Karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang
bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
3.
Tahap Penelaahan Kesamaan Sifat
Pada
tahap ini, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat
kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam
mencari kesamaan sifat, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan
kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya.
Translasi tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam
permainan semula.
4.
Tahap Representasi
Tahap
representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang
sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah
mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi
yang dihadapinya. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak.
Dengan
demikian anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya
abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
5.
Tahap Simbolisasi
Tahap
simbolisasi termasuk tahap belajar konsep, yang membutuhkan kemampuan
merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan
simbol-simbol matematika atau melalui perumusan verbal.
6.
Tahap Formalisasi
Tahap
formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini
anak-anak dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan
sifat-sifat baru dari konsep tersebut. Sebagai contoh, anak-anak yang telah
mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu
merumuskan teorema, dalam arti membuktikan teorema tersebut.
F.
TEORI
BELAJAR VAN HIELE
Van Hiele
adalah seorang guru matematika bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam
pengajaran geometri Menurut Van Hiele, ada tiga unsur utama dalam pengajaran
geometri, yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang
diterapkan. Jika ketiga unsur ditata secara terpadu, akan dapat meningkatkan
kemampuan berfikir anak kepada tahapan berfikir yang lebih tinggi.
Van Hiele
menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu : tahap
pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi dan
tahap akurasi yang akan diuraikan sebagai berikut :
1.
Tahap Pengenalan (Visualisasi)
Pada tahap ini anak mulai belajar mengenal
suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya
sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada
anak diperlihatkan sebuah kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat atau
keteraturan yang dimiliki oleh kubus tersebut. Ia belum tahu bahwa kubus
mempunyai sisi-sisi yang merupakan bujursangkar, anak pun belum mengetahui
bahwa bujursangkar ( persegi ) keempat sisinya sama dan ke empat sudutnya
siku-siku.
2.
Tahap analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal
sifat-sifat yang dimiliki bangun Geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu
menyebutkan keteraturan yang terdapat pada bangun Geometri itu. Misalnya pada
saat ia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang
sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Tapi tahap
ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda
geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya anak belum mengetahui bahwa
persegi adalah persegipanjang atau ,persegi itu adalah belah ketupat dan
sebagainya.
3.
Tahap Pengurutan (Deduksi
Informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan
penarikan kesimpulan yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif. Namun
kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui
adalah, anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah
mengenali bahwa persegi adalah jajaran genjang, bahwa belah ketupat adalah
layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak
memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu bahwa
semua sisinya berbentuk persegi . Pola pikir anak pada tahap ini masih belum
mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjangnya.
Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua
segitiga yang kongruen.
4.
Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik
kesimpulan secara deduktif, yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang
bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah
mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di
samping unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami
dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma
atau postulat yang digunakan dalam pembuktian. Tetapi anak belum mengerti
mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil
5.
Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari
betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu
pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau
postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir
yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak
semua anak, meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas, masih belum
sampai pada tahap berfikir ini.