Selasa, 28 April 2015

hypotethical learning trajectory



LEARNING TRAJECTORY MATHEMATIC
(LINTASAN DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA)

1.      Pengertian

Istilah hipotesis lintasan belajar digunakan oleh Simon (1995) dengan istilah Hypothetical Learning Trajectory (HLT).  Hypothetical learning Trajectory (HLT) merupakan suatu instrument yang menjadi  panduan pada proses pelaksanaan penelitian design research, sebagai perluasan dari percobaan pikiran (tought experiment).
Hipotesis lintasan belajar (HLB) merupakan instrumen yang digunakan dalam penelitian desain ini yang dapat menjembatani antara teori dengan eksperimen. HLB sesungguhnya adalah hipotesis yang dibuat oleh peneliti mengenai proses belajar yang akan terjadi pada saat pelaksanaan pembelajaran di kelas. Hipotesis ini dibuat untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat muncul di kelas, sehingga peneliti dapat meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. Hal lain yang juga penting adalah bahwa HLB dibuat berlandaskan teori yang sudah dikaji sebelumnya. Hipotesis lintasan belajar  memberikan perencanaan harian bagi guru dan peneliti mengenai rangkaian aktivitas dalam melaksanakan eksperimen di kelas.  Di dalam HLB, peneliti memaparkan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan. Kegiatan pembelajaran ini diurutkan sesuai dengan tahapan pemahaman konsep yang biasanya termuat dalam kegiatan (Gravemeijer, 2004).
HLT berperan pada setiap tahapan design research, berikut ini adalah peran dan posisi HLT dalam setiap tahapan design research (Bakker, 2004).
  • Tahap Preparation and design : pada tahap ini, HLT dirancang untuk membimbing proses perancangan bahan pembelajaran yang akan dikembangkan dan diadaptasi. Konprontasi antara pemikiran umum dengan kegiatan konkrit sering mengarah pada HLT yang lebih spesifik. HLT dirancang selama tahap preparation and design.
  • Tahap Design Experiment : Selama percobaan pembelajaran, HLT berfungsi sebagai pembimbing (guideline) untuk guru dan peneliti apa yang akan difokuskan dalam proses pembelajaran, wawancara dan observasi. Peneliti dan guru perlu menyesuaikan HLT dengan kegiatan pembelajaran untuk pertemuan pembelajaran. Dengan HLT, proses penelitian dan pengembangan bisa lebih efisien. Perubahan dalam HLT biasanya dipengaruhi oleh kejadian di kelas yang belum dapat diantisipasi, strategi yang belum terlaksana, serta kegiatan yang terlalu sulit untuk dilaksanakan. Perubahan HLT dilakukan untuk menghasilkan kondisi yang optimal dan merupakan bagian dari data yang akan dianalisis. Perubahan HLT harus dilaporkan untuk mendukung proses pembentukan teori. HLT dapat berubah selama tahap teaching experiment.
  • Tahap Restrospective Analysis : Pada tahap ini, HLT berperan sebagai petunjuk dalam menentukan fokus analisis bagi peneliti. Karena prediksi dibuat berkaitan proses belajar siswa, maka peneliti dapat membandingkan antisipasi dari prediksi melalui observasi selama percobaan pembelajaran (teaching experiment). Analisis seperti ini, menyangkut saling mempengaruhi antara HLT dan dan pengamatan empiris dapat menjadi dasar pembentukan teori. Setelah tahap ini, HLT diformulasikan kembali berdasarkan hasil temuan observasi dan analisis yang dilakukan. HLT yang baru akan menjadi petunjuk pada tahap rancangan (design phase) berikutnya.
Dengan begitu, HLT merupakan bentuk konkrit atau pengkonkritan teori pembelajaran. Sebaliknya, teori pembelajaran dibentuk dari pengembangan HLT. Karena HLT, memuat tiga komponen, yiatu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan hipotesis pembelajaran, maka keberadaannya sangat penting dalam seluruh tahapan design research. 

HLT terdiri dari:
(1)  Tujuan, yaitu tujuan dari kegiatan pembelajaran matematika yang dilakukan. Tujuan yang dimaksud di sini adalah apa yang akan dicapai siswa dalam kegiatan pembelajaran tersebut.
(2)  Aktivitas pembelajaran
Aktifitas pembelajaran yang dirancang dengan seksama agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
(3)  Dugaan proses belajar siswa
Peneliti menduga di awal tentang bagaimana kegiatan pembelajaran akan berlangsung dan utamanya adalah proses belajar siswa selama kegiatan tersebut. Dengan dugaan-dugaan ini, peneliti dapat mengantisipasi segala kemungkinan di lapangan.



v  Ada beberapa pendapat para ahli mengenai learning trajectory, adalah sebagai berikut:
Simon (dalam Bakker, 2003) mendefinisikan HLT sebagai "The hypothetical learning trajectory is made up of three components: the learning goal that defines the direction, the learning activities, and the hypothetical learning process a prediction of how the students’ thinking and understanding will evolve in the context of the learning activities". Yang berarti HTL terdiri dari tiga komponen : tujuan pembelajaran yang mendefinisikan arah (tujuan pembelajaran), kegiatan belajar, dan hipotesis proses belajar untuk memprediksi bagaimana pikiran dan pemahaman siswa akan berkembang dalam konteks kegiatan belajar.
Istilah alur belajar adalah pertama kali digunakan oleh Simon (dalam Bardsley, 2006) yaitu hypothetical learning trajectory (HLT). Menurut Simon : “Hypothetical learning trajectories are defined by reseacher-developers as goals for meaningful learning, a set of tasks to accomplish those goals, and a hypothesis about students’ thinking and learning“. Yang berarti alur belajar yang bersifat hipotetik atau alur belajar hipotetik terdiri atas tiga komponen utama yaitu: tujuan belajar untuk pembelajaran bermakna, sekumpulan tugas untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan hipotesis tentang bagaimana peserta didik belajar dan bagaimana peserta didik berpikir. Tujuan belajar yang dimaksudkan di sini dapat berupa memahami suatu konsep atau memecahkan suatu masalah matematika. Simon pertama kali menggunakan alur belajar hipotetik untuk mendesain suatu pembelajaran singkat yang meliputi satu atau dua kali pertemuan.
Lintasan belajar bersifat hipotetis karena, sampai siswa betul-betul belajar dengan masalah yang ada, kita tidak bisa yakin apa yang akan mereka lakukan atau apa dan bagaimana mereka akan membangun interpretasi-interpretasi, ide-ide dan strategi-strategi baru. Para guru mengharapkan murid-muridnya untuk memecahkan masalah dengan sebuah cara yang mutlak. Atau, yang sedikit lebih baik, harapan mereka berbeda-beda pada setiap murid yang berbeda. Gambaran berikut menunjukkan bentuk sebuah lintasan belajar hipotesis (hypothetical learning trajectory).
Bagaimana hubungan antara alur belajar dengan alur belajar hipotetik?
Simon menggunakan pengandaian perjalanan berlayar untuk menjelaskan tentang lintasan belajar ini:
“Anda mungkin pada awalnya merencanakan perjalanan anda seutuhnya atau hanya sebagiannya saja. Anda mengatur pelayaran anda berdasarkan pada rencana anda. Namun, anda harus mampu menyesuaikan diri karena kondisi-kondisi yang anda alami. Anda kemudian berusaha memperoleh pengetahuan tentang berlayar, tentang kondisi terkini, dan tentang daerah-daerah yang anda akan datangi. Anda kemudian mengubah semua rencana anda sesuai dengan urutan tujuan-tujuan anda. Anda lalu memodifikasi lama dan bentuk awal dari perjalanan anda sebagai hasil dari interaksi-interaksi dengan orang-orang yang anda temui dijalan. Anda menambahkan tempat-tempat tujuan yang sebelumnya belum anda ketahui. Jalan yang anda lalui adalah lintasan anda yang sesungguhnya. Jalan yang anda antisipasi pada sembarang titik adalah lintasan hipotesis (hypothetical trajectory) anda.”
Berdasarkan ilustrasi yang digambarkan oleh Simon bahwa alur belajar memberikan gambaran secara utuh tentang apa yang terjadi atau yang kita temui, daerah yang kita singgahi sepanjang perjalanan. Dengan demikian dalam pemecahan masalah sebuah alur belajar akan memberikan gambaran tentang pengetahuan prasyarat yang telah dimiliki peserta didik (sebagai titik start) dan setiap langkah dari satu titik ke titik berikutnya menggambarkan proses berpikir yang mereka gunakan, metode yang mereka pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang mereka tunjukkan.
Menurut Chuang-Yih Chen (2002) “The learning trajectory is made up of three components: the learning goals, the learning activities, and the hypothetical learning process“. Jadi menurut Chuang-Yih Chen alur belajar terdiri atas tiga komponen yaitu tujuan-tujuan belajar (the learning goals), aktivitas belajar (the learning activities) dan proses belajar hipotetik (hypothetical learning process). Chuang (2002), menerapkan alur belajar dalam pemecahan masalah. Chuang lebih melihat alur belajar sebagai barisan aktivitas atau proses. Alur belajar tesebut sebagai berikut :

0. Naïve Judgment
1.  Surface Explanation


2-1. Incomplete Explanation with

2-2. Incomplete Explanation without
Improper Arguments

Improper Arguments





3-1& 3-2. (Towards) Complete Explanation


4. Beyond Complete Explanation

Komponen-komponen definisi yang dikemukakan oleh Simon dan definisi yang dikemukakan oleh Chuang- Yih Chen dapat dibandingkan pada tabel berikut:



No
Komponen
definisi
menurut
Komponen definisi menurut

Simon


Chuang- Yih Chen
1.
Tujuan-tujuan belajar

Tujuan-tujuan belajar

(goals for meaningful learning),
(the learning goals),
2.
Sekumpulan
tugas untuk
mencapai
Aktivitas belajar

tujuan. (a set of tasks )

(the learning activities)
3.
Suatu hipotesis tentang bagaimana
Proses    belajar    yang    bersifat

anak  belajar  dan  bagaimana  anak
hipotesis

berpikir.   (a
hipothesis
about
(the hypothetical learning process)

students’ thinking and learning)

Tabel 2.3 Perbandingan antara definisi Chuang dan definisi Simon tentang alur belajar

Menurut Hadi (2006) alur belajar hipotetik adalah dugaan seorang desainer atau seorang peneliti mengenai kemungkinan alur belajar yang terjadi di kelas pada saat merancang pembelajaran. Karena bersifat hipotetik tentu tidak selalu benar. Pada kenyataannya memang banyak salah karena apa yang terjadi di kelas sering tak terduga. Setelah peneliti (dalam hal ini desainer) melakukan uji coba, diperoleh alur pembelajaran yang sebenarnya, itulah yang disebut dengan alur belajar. Pada siklus pembelajaran berikutnya alur belajar tadi dapat dijadikan sebagai sebuah alur belajar hipotetik yang baru. Hadi (2006), dalam tulisannya Adapting European Curriculum Material For Indonesian Schools, memberikan contoh sebuah alur belajar hipotetik, untuk pembelajaran materi pecahan di sekolah dasar. Adapun alur belajar tersebut adalah sebagai berikut:









Soedjadi (2007) menjelaskan bahwa secara umum perkembangan kemampuan kognitif anak mulai dengan hal yang konkrit secara bertahap mengarah ke hal yang abstrak. Bagi setiap anak perjalanan dari konkrit ke abstrak dapat saja berbeda. Ada yang cepat dan ada yang lamban sekali. Bagi yang cepat mungkin tidak memerlukan banyak tahapan, tetapi bagi yang tidak cepat, tidak mustahil perlu melalui banyak tahapan. Dengan demikian bagi setiap anak mungkin saja memerlukan learning trajectory atau alur belajar yang berbeda.
Alur belajar hipotetik adalah suatu dugaan tentang rangkaian aktivitas yang dilalui anak dalam me memecahkan suatu masalah atau memahami suatu konsep. Sedangkan alur belajar adalah suaturangkaian aktivitas yang secara aktual dilalui anak dalam memecahkan suatu masalah atau memahami suatu konsep. Dalam mengungkap alur belajar maka terlebih dahulu dirumuskan alur belajar hipotesis Dalam pelaksanaan/uji coba alur belajar hipotetik mungkin mengalami beberapa perubahan atau perbaikan. Alur yang diperoleh berdasarkan beberapa revisi tersebut itulah yang disebut dengan alur belajar. Jadi alur belajar yang merupakan hasil revisi terhadap alur belajar hipotetik berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat pembelajaran berlangsung.

2.                  Manfaat Alur Belajar / Learning Trajectory

Dalam setiap siklus penelitian desain secara makro, kita dapat membagi dalam tiga tahap yaitu tahap desain awal, tahap eksperimen dan tahap analisis retrospeksi (retrospective analysis). Pada tahap desain awal termasuk di dalamnya menghubungkan antara dua bagian utama yaitu, pengembangan suatu alur belajar hipotetik dan desain aktivitas belajar. Jadi merumuskan atau mengembangkan sebauh alur belajar hipotetik merupakan langkah pertama dalam sebuah siklus penelitian. Dikatakan alur belajar hipotetik kerena bersifat individual dan selalu dapat dirubah.
Sebuah alur belajar memberikan petunjuk bagi guru untuk menentukan dan merumuskan tujuan-tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Selanjutnya guru dapat membuat keputusan-keputusan tentang langkah-langkah strategi yang akan digunakan untuk mewujutkan tujuan-tujuan tersebut. Sebelum menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pembelajaran atau pemecahan masalah, guru seharusnya memiliki terlebih dahulu informasi tentang pengetahuan prasyarat, strategi berpikir yang digunakan anak, level berpikir yang mereka tunjukkan dan bagaimana variasi aktivitas yang dapat menolong mereka mengembangkan pemikiran yang dibutukan untuk tujuannya tersebut. Semuanya termuat dalam alur belajar hipotesis
Informasi-informasi itu dapat diperoleh melalui observasi, pre-tes, atau penilaian lain. Berdasarkan observasi, penilaian, dan informasi lain yang telah dikumpulkan, guru dapat mengetahui alur belajar ataupun tingkat berpikir yang dimiliki anak saat itu. Dengan mengetahui level dan alur pikir yang dimiliki anak, dalam proses pembelajaran kita dapat mengetahui mana yang harus didahulukan dalam proses pengembangannya. Alur belajar memberikan suatu kerangka kerja bagi guru untuk mengembangkan pengetahuan tentang berpikir dan belajar peserta didik. Selanjutnya pengetahuan tentang berpikir dan belajar peserta didik dapat digunakan untuk merencanakan pembelajaran.
Memformulasikan suatu alur belajar hipotetik dapat didasarkan pada salah satu jenis sumber seperti: konjektur tanpa data empirik, eksperimen atau pengalaman mengajar, pretes dan postes, interviu atau protokol tertulis dari beberapa pertanyaan, analisis tugas terstruktur dan seterusnya (Chuang- Yih Chen, 2002). Dalam proses memformulasikan alur belajar hipotetik, tujuan belajar (learning goals) dapat diuraikan dalam sub-sub tujuan (subgoals), sedangkan proses belajar disusun berdasarkan data empirik. Jika tujuan belajar (learning goals) dapat dikorelasikan dengan proses belajar akan mempermudah seorang guru dalam menyusun kerangka kerja untuk mendesain pembelajaran dan penilaian.
Berikut ini adalah sebuah siklus pembelajaran yang memuat alur belajar yang dikonstruk oleh guru untuk perencanaan pembelajaran yang mengacu pada: (a) tujuan belajar, (b) pengaturan pembelajaran dan aktivitas, dan (c) proses belajar yang mungkin untuk melibatkan peserta didik secara aktif.
Alur belajar hipotetik

Pengetahuan

Tujuan belajar


Perencanaan aktivitas

Interaksi

Proses belajar hipotetik


Gambar2.3: Siklus pembelajaran matematika menurut Simon (dalam Leikin R & Dinu S., 2002)

3.                  Contoh Hypothetical Learning Trajectory (HLT)
Ø  Contoh Pertama
1.      Pengenalan konsep dasar perkalian sebagai penjumlahan berulang, seperti :
2.       Tabel perkalian sampai 10 yang dikaitkan dengan makna perkalian sebagai penjumlahan berulang. Tabel perkalian ini diajarkan secara bertahap, mulai dari kelas III sampai kelas IV. Untuk memudahkan siswa menentukan hasil perkalian, ada beberapa strategi yang diajarkan untuk mendukung pengetahuan siswa, diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Tabel jaringan perkalian (productive network): one time more, one time less, a half, and double.
Siswa mulai dari perkalian yang sudah dia kuasai, lalu membuat jaringan perkalian berdasarkan hasil yang telah diperoleh, tanpa harus memulai dari perkalian 1. Model yang dapat digunakan untuk membantu siswa adalah garis bilangan dan susunan benda-benda, seperti terlihat pada gambar berikut.

Selanjutnya, siswa diarahkan membuat jaringan perkalian sendiri yang lebih abstrak, misalnya seperti berikut :
Dengan adanya jaringan perkalian di atas, siswa lebih memahami makna perkalian dan bahkan siswa bisa menentukan hasil perkalian sebesar-besarnya dengan melipatduakan. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa bahwa perkalian itu bukan suatu hafalan yang sulit, melainkan hubungan antara bilangan yang bermakna dan menakjubkan.
b) Perkalian dengan bilangan yang mudah, seperti perkalian 2, perkalian 5, dan perkalian 10.
c) Sifat komutatif
Salah satu model untuk mengenalkan sifat komutatif adalah model persegipanjang sebagai berikut :
Berdasarkan model di atas, siswa diharapkan dapat menyimpulkan bahwa banyak petak satuan adalah 3+3+3+3 = 4×3 = 12 atau 4+4+4 = 3×4 = 12.
d) Dua kali lipat (doubling) dilakukan secara bersamaan dengan setengah (halfing), sebagai contoh 2×3 = 1×6, 4×5 = 2×10
3.      Perkalian terhadap 10, 100, 1000, dst, seperti 3 x 40; 40 x 3; 3 x 400; 400 x 3
4.      Estimasi 3 x 99 dengan cara 3 kurangnya dari 3 x 100, artinya 3×100 – 3 = 297
5.      Strategi pemisahan (splitting strategy) seperti 7 x 24 = 140 + 28 = 168
6.      Strategi kolom (notasi untuk splitting)seperti:
7.      Pengantar ke algoritma perkalian (di kelas IV SD)
8.      Algoritma perkalian (di kelas V SD), seperti
Algoritma perkalian ini menjadi bermakna bagi siswa jika karena didahului dengan lintasan belajar pada tahap sebelumnya.

Ø  Contoh Kedua

Hypothetical Lerning Trajectory terdiri dari tiga:
  •     Goal (Tujuan)
  •   Activity (Aktifitas)
  •   Hypothesis (Pemikiran siswa atau student thinking)
Materi: Perbandingan Trigonometri Segitiga Siku-Siku
Goal                : Perbandingan Trigonometri Segitiga Siku-siku
Activity           :
ü      Guru menjelaskan materi tentang perbandingan trigonometri segitiga siku-siku
ü      Guru mengajak siswa untuk dapat mengaitkan hubungan antara materi perbandingan segitiga siku-siku dan pokok bahasan sebelumnya
ü      Guru memberikan latihan soal untuk mengasah pemahaman siswa, dan siswa menyelesaikan latihan soal tersebut


Hypothesis      :
ü      Sebagian siswa yang mengerti materi sebelumnya, bisa mengerjakan latihan soal yang diberikan
ü      Siswa belum bisa membedakan mana sisi depan, sisi miring, dan sisi samping dari suatu segitiga apabila diberikan soal dengan segitiga yang berbeda, contohnya :
Guru memberikan soal untuk mencari nila-nilai perbandingan trigonometri segitiga siku-siku:
Siswa menjawab :
  •   Jika sudutnya di B siswa menduga bahwa sisi miring (a) adalah sisi samping (c)
  • Jika guru memberikan soal segitiga sama kaki, dan sudutnya terletak di B, siswa akan mengira bahwa sisi AC merupakan sisi depan sudut B.  
Goal                : Phytagoras
Activity           :
ü      Guru mengulang kembali materi phytagoras, rumus dan segitiga apa saja yang nilainya bisa dicari dengan menggunakan phytagoras
ü      Tanya jawab dengan siswa, dan mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari
Hypothesis      :
ü      Guru bertanya kepada siswa “pernahkah siswa mendengar kata phytagoras?”
Siwa menjawab “ya dan tidak”
ü      Guru kembali menanyakan kepada siswa yang menjawab pernah mendengar phytagoras dan menyuruh siswa untuk menjelaskan apa itu phytagoras?
Dan apabila konsep dasar yang dimiliki siswa itu salah, guru harus menjelaskan lagi konsep mengenai phytagoras yang menjadi materi dasar untuk melanjutkan ke materi perbandingan trigonometri segitiga siku-siku
Siswa menjawab:
·         Phytagoras adalah penjumlahan kuadrat dalam segitiga
·         Phytagoras adalah hasil penjumlahan kuadrat sisi tegak dan sisi samping yang menghasilkan sisi miring
Goal                : Memahami sudut dalam segitiga
Activity           :
ü      mengulang kembali macam-macam sudut dan
ü      tanya jawab dan mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari
Hyphotesis      :
ü      Guru bertanya kepada siswa “ada beberapa macam sudut?”
Siswa menjawab “sudut lancip, sudut tumpul, dan sudut siku-siku” jawaban seperti ini mungkin muncul dalam pikiran siswa karena materi sudut sudah diajarkan sejak di sekolah dasar
ü      Menanyakan kepada siswa bangunan sekitar yang ada kaitannya dengan sudut?
Misalnya:
ü      “kita sekarang sedang berada diruangan yang berbentuk apa?” siswa menjawab “balok”,  guru ”balok itu memiliki sudut yang berbentuk apa?”, siswa “ 90° ” bu…
Goal                : Memahami segitiga dan kesebangunan dalam segitiga
Activity           :
ü      Mengulangi kembali materi segitiga dan kesebangunan segitiga
ü      Tanya jawab dan menunjukkan media pembelajaran yang berhubungan dengan segitiga dan kesebangunan segitiga
ü      Mengaitkan materi segitiga dan kesebangunan segitiga dengan kehidupan sehari-hari
Hypothesis      :
ü      Sebagian siswa lupa tentang materi kesebangunan dan mengira bahwa sebangun itu adalah sama besar atau segitiganya sejenis
ü      Guru bertanya kepada siswa sambil menunjukkan media pembelajaran (macam2 segitiga) “apakah segitiga ini sebangun?” siswa menjawab “sebangun, karena sama-sama segitiga sama kaki/ sama sisi/ siku-siku”

TEORI BELAJAR MATEMATIKA

v  ALIRAN PSIKOLOGI TINGKAH LAKU
1.      Teori Belajar Thorndike
2.      Pavlov
3.      Baruda
4.      Skiner
5.      Ausubel
6.      Gagne
Aliran tingkah laku (behaviorisme) berkesimpulan bahwa studi tentang belajar itu harus berdasarkan kepada pengamatan tingkah laku manusia yang nampak, sebab menurut teori ini manusia itu adalah organisme pasif yang bisa dikontrol, dan tingkah laku manusia itu bisa dibentuk melalui ganjaran dan hukuman.

A.    TEORI BELAJAR THORNDIKE
Edward L. Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan bahwa belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal – hal yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, persaan atau gerakan ( tindakan ). Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan atau tingkah laku akibat kegitan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu dapat diamati.
Teori belajar stimulus respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga Koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum yang dikemukakan Thorndike, yang mengakibatkan munculnya stimulus respon ini, yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exsercise) dan hukum akibat (law of effect).
1.      Hukum Kesiapan (law of readiness)
Hukum ini menerangkan bagaimana kesiapan seseorang siswa dalam melakukan suatu kegiatan. Seorang siswa yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan kegiatan tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya.

Seorang siswa yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan kemudian bertindak, sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi dirinya, akan selalu menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang melahirkan ketidakpuasan tersebut.
Dari ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa seorang siswa akan lebih berhasil belajarnya, jika ia telah siap untuk melakukan kegiatan belajar.

2.      Hukum Latihan (law of excercise)
Menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon sering terjadi akibatnya hubungan akan semakin kuat. Sedangkan makin jarang hubungan stimulus respon dipergunakan, maka makin lemahlah hubungan yang terjadi.
Hukum latihan pada dasarnya mengungkapkan bahwa stimulus dan respon memiliki hubungan satu sama lain secara kuat, jika proses pengulangan sering terjadi, dan makin banyak kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersirfat otomatis. Seorang siswa dihadapkan pada suatu persoalan yang sering ditemuinya akan segera melakukan tanggapan secara cepat sesuai dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa pengulangan yang akan memberikan dampak positif adalah pengulangan yang frekuensinya teratur, bentuk pengulangannya tidak membosankan dan kegiatannya disajikan dengan cara yang menarik.
Sebagai contoh untuk mengajarkan konsep pemetaan pada siswa, guru menguji apakah siswa sudah benar-benar menguasai konsep pemetaan. Untuk itu guru menanyakan apakah semua relasi yang diperlihatkannya itu termasuk pemetaan atau tidak. Jika tidak, siswa diminta untuk menjelaskan alasan atau sebab-sebab kriteria pemetaan tidak dipenuhi. Penguatan konsep lewat cara ini dilakukan dengan pengulangan. Namun tidak berarti bahwa pengulangan dilakukan dengan bentuk pernyataan dan informasi yang sama, melainkan dalam bentuk informasi yang dimodifikasi, sehingga siswa tidak merasa bosan.

3.      Hukum akibat (law of effect)
Thorndike mengemukakan bahwa suatu tindakan akan menimbulkan pengaruh bagi tindakan yang serupa. Ini memberikan gambaran bahwa jika suatu tindakan yang dilakukan seorang siswa menimbulkan hal-hal yang mengakibatkan bagi dirinya, tindakan tersebut cenderung akan diulanginya. Sebaliknya tiap-tiap tindakan yang mengakibatkan kekecewaan atau hal-hal yang tidak menyenangkan, cenderung akan dihindarinya. Dilihat dari ciri-cirinya ini hukum akibat lebih mendekati ganjaran dan hukuman.
Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan yang terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan dari siswa, dan cenderung untuk berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang telah dicapainya itu. Guru memberi senyuman wajar terhadap jawaban siswa, akan semakin menguatkan konsep yang tertanam pada diri siswa. Katakan “Bagus”, “Hebat”, “Kau sangat teliti ”, dan semacamnya akan merupakan hadiah bagi siswa yang kelak akan meningkatkan dirinya dalam menguasai pelajaran. Stimulus ini termasuk reinforcement.
Sebaliknya guru juga harus tanggap terhadap respon siswa yang salah. Jika kekeliruan siswa dibiarkan tanpa penjelasan yang benar dari guru, ada kemungkinan siswa akan menganggap benar dan kemudian mengulanginya. Siswa yang menyelesaikan tugas atau pekerjaan rumah, namun hasil kerjanya itu tidak diperiksa oleh gurunya, ada kemungkinan beranggapan bahwa jawaban yang dia berikan adalah benar. Anggapan ini akan mengakibatkan jawaban yang tetap salah di saat siswa mengikuti tes.
Demikian pula siswa yang telah mengikuti ulangan dan mendapat nilai jelek, perlu diberitahukan kekeliruan yang dilakukannya pada saat siswa diberi tes berulang, namun hasilnya tetap buruk. Ada kemungkinan konsep yang dipegangnya itu dianggap sebagai jawaban yang benar. Penguatan seperti ini akan sangat merugikan siswa. oleh karena itu perlu dihilangkan.
Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa jika terdapat asosiasi yang kuat antara pertanyaan dan jawaban, maka bahan yang disajikan akan tertanam lebih lama dalam ingatan siswa. selain itu banyaknya pengulangan akan sangat menentukan lamanya konsep diingat siswa. Makin sering pengulangan dilakukan akan semakin kuat konsep tertanam dalam ingatan siswa.

B.     TEORI BELAJAR PAVLOV
Pavlov adalah seorang ilmuwan berkebangsaan Rusia. Ia terkenal dengan teori belajar klasiknya dan seorang penganut aliran tingkah laku (Behaviorisme) yaitu aliran yang berpendapat, bahwa hasil belajar manusia itu didasarkan kepada pengamatan tingkah laku manusia yang terlihat melalui stimulus respons dan belajar bersyarat (Conditioning Learning). Menurut aliran ini tingkah laku manusia termasuk organisme pasif yang bisa dikendalikan. Tingkah laku manusia bisa dikendalikan dengan cara memberi ganjaran dan hukuman.
Pavlov mengadakan penelitian terhadap perilaku anjing yaitu mempelajari proses pencernaan pada anjing, lalu mengamati anjing bila melihat makanan maka akan keluar air liurnya. Dalam penelitiannya anjing dikurung dalam suatu kandang selanjutnya setiap akan memberi makan, Pavlov membunyikan bel. Ia memperhatikan bahwa setiap dibunyikan bel pada jangka waktu tertentu anjing itu mengeluarkan air liurnya. Akhirnya dicoba dibunyikan bel itu tetapi tanpa diberi makanan. Ternyata anjing itu tetap mengeluarkan air liurnya. Dalam percobaan itu makanan atau bunyi bel jadi perangsang atau stimulus bagi keluarnya air liur anjing atau yang menimbulkan selera anjing untuk makan. Makanan disebut stimulus tak bersyarat, karena terjadinya secara wajar, sedangkan bunyi bel disebut stimulus bersyarat.
Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning) dalam hubungannya dengan kegiatan belajar mengajar, misalnya agar siswa mengerjakan soal PR dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya atau memberi nilai terhadap hasil pekerjaannya.

C.    TEORI BELAJAR ALBERT BARUDA
Albert Baruda merupakan tokoh Aliran Tingkah Laku. Ia terkenal dengan belajar menirunya. Baruda menyangkal pendapat Skinner yang mengatakan bahwa respon yang diberikan siswa yang disertai penguatan itu selalu esensial. Hal tersebut berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya dan penelitian teman-temannya.
Baruda mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru bicara sopan santun dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematik maka siswa akan menirunya. Demikian pula jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun akan menirunya.

D.    TEORI BELAJAR SKINNER
Burrhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar.
Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya subyektif, sedangkan penguatan merupakan suatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur.
Teori Skinner menyatakan penguatan terdiri atas penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku siswa dalam melakukan pengulangan perilakunya itu. Dalam hal ini penguatan yang diberikan kepada siswa memperkuat tindakan siswa, sehingga siswa semakin sering melakukannya.Contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian yang diberikan kepada siswa, sikap guru yang menunjukkan rasa gembira pada saat siswa bisa menjawab dengan benar.
Penguatan positif akan berbekas pada diri siswa. Mereka yang mendapat pujian setelah berhasil menyeleaikan tugas atau menjawab pertanyaan dengan benar biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi siswa untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasinya. Penguatan yang seperti ini sebaiknya segera diberikan dan jangan ditunda-tunda.
Penguatan negatif adalah bentuk stimulus yang lahir akibat dari fespon sisw yang kurang atau tidak diharapkan. Penguatan negative diberikan agar respon yang tidak diharapkan atau tidak menunjang pada pelajaran tidak diulangi siswa. Penguatan negatif itu dapat berupa teguran, peringatan atau sangsi. Namun untuk mengubah tingkah laku siswa dari negatif menjadi positif guru perlu mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk memperkirakan (memprediksi) dalam mengendalikan tingkah laku siswa.Di dalam kelas guru mempunyai tugas untuk mengarahkan siswa dalam aktivitas belajar, karena pada saat tersebut kontrol berada pada guru, yang berwenang memberikan instruksi ataupun larangan pada siswanya.

E.     TEORI BELAJAR ASUBEL
Ausubel terkenal dengan teori belajar bermaknanya. Menurut Ausubel bahan pelajaran yang dipelajari haruslah “ bermakana” artinya bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian faktor intelektual, emosional siswa tersebut terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menemukan, konsep dicari/ditemukan oleh siswa. Sedangkan pada belejar menerima siswa hanya menerima konsep atau materi dari guru, dengan demikian siswa tinggal menghapalkannya. Selain itu Ausubel juga membedakan antara brelajar menghafal dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal, siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya tetapi pada belajar bermakna, materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih bisa dimengerti.
Ausubel menentang pendapat yang mengatakan bahwa metode penemuan dianggap sebagai suatu metode mengajar yang baik karena bermakna, dan sebaliknya metode ceramah adalah metode yang kurang baik karena merupakan belajar menerima. Menurutnya baik metode penemuan maupun metode ceramah bisa menjadi belajar menerima atau belajar bermakna, tergantung dari situasinya.

F.     TEORI BELAJAR GAGNE
Menurut Gagne, dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh siswa, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap matematika, dan tahu bagaimana semestinya belajar. Sedangkan objek langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan aturan.
Fakta adalah objek matematika yang tinggal menerimanya, seperti lambang bilangan sudut, dan notasi-notasi matematika lainnya. Keterampilan berupa kemampuan memberikan jawaban dengan tepat dan cepat, misalnya melakukan pembagian bilangan yang cukup besar dengan bagi kurung, menjumlahkan pecahan, melukis sumbu sebuah ruas garis. Konsep ide abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan objek ke dalam contoh dan non contoh. Misalkan, konsep bujursangkar, bilangan prima, himpunan, dan vektor. Aturan ialah objek paling abstrak yang berupa sifat atau teorema.
Menurut Gagne, belajar dapat dikelompokkan menjadi 8 tipe, yaitu :
1.      Belajar Sinyal              : Belajar tanpa kesengajaan, yang dihasilkan dari sejumlah stimulus ulangan yang akan menimbulkan respon dari yang bersangkutan.
2.      Belajar S-R                  : Belajar ini menghendaki adanya stimulus yang datang dari luar yang diiringi dengan respon yang dikehendaki sehingga terjadi hubungan manunggal antara stimulus dan respon.
3.      Belajar Merangkai       : Jenis belajar ini menunjukkan adanya dua atau lebih S-R yang digabung bersama. Misalnya membagi sudut menjadi dua dengan menggunakan penggaris dan jangka, maka cara menggunakan penggaris dan jangka merupakan S-R yang harus dipelajari.
  1. Belajar Asosiasi Verbal           : Belajar ini terjadi pada waktu memberi nama suatu benda. Misalnya pada waktu mengamati benda terjadi S-R yang pertama, kemudian dikuti S-R yang kedua yaitu memberi nama suatu  benda.
  2. Belajar Diskriminasi    : Belajar ini untuk membedakan hubungan S-R agar dapat memahami macam-macam obyek atau konsep. Misalnya membedakan simbul ∩ dan U pada himpunan.
Ada dua diskriminasi :
v   Diskriminasi Ganda   :  Misalnya siswa menyimak 30 segitiga yang beraneka ragam. Ia membedakan macam- macam segitiga tersebut.
v  Diskriminasi Tunggal : Misalnya siswa menyimak 30 macam segitiga tanpa membedakan nama segitiga.
6.      Belajar Konsep            : Belajar memahami kebersamaan sifat-sifat dari benda-benda kongrit atau peristiwa untuk dikelompokkan menjadi satu jenis. Misalnya segitiga sama kaki adalah ………………………..
  1. Belajar Aturan             : Belajar aturan adalah belajar yang memungkinkan peserta didik menghubungkan dua konsep atau lebih. Misalnya hukum komutatif pada perkalian.
  2. Belajar memecahkan masalah : Belajar menggabungkan aturan – aturan yang lebih sederhana untuk memecahkan masalah. Misalnya menyelesaikan soal tentang pemecahan lingkaran.
Dalam pemecahan masalah, biasanya ada lima langkah yang harus dilakukan, yaitu :
a.      Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas
b.      Menyatakan masalah dalam bentuk yang lebih operasional
c.      Menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik
d.     Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya
e.      Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh

v  ALIRAN PSIKOLOGI KOGNITIF
1.      Teori Belajar Jean Peaget
2.      Bruner
3.      Brownell
4.      Dienes
5.      Van Hiele
Aliran psikologi kognitif berbeda dengan aliran psikologi tingkah laku. Menurut aliran psikologi kognitif bahwa anak belajar itu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mentalnya. Artinya bila seorang guru akan memberikan pengajaran harus disesuaikan dengan tahap–tahap perkembangan tersebut. Pembelajaran yang tidak memperhatikan perkembangan mental siswa besar kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam menyerap materi yang disajikan, karena tidak sesuai dengan tingkat kemampuannya.

A.    TEORI BELAJAR JEAN PIAGET
Ahli teori belajar yang sangat berpengaruh adalah Jean Piaget. Dia adalah ahli psikologi bangsa Swiss yang meyakini bahwa perkembangan mental setiap pribadi anak melewati empat tahap, yaitu :
a.      Tahap Sensori Motor, dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun
b.      Tahap Pra Operasi, dari sekitar umur 2 tahun sampai dengan sekitar umur 7 tahun
c.      Tahap Operasi Kongkrit, dari sekitar umur 7 tahun sampai sekitar umur 11 tahun
d.     Tahap Operasi Formal, dari sekitar umur 11 tahun dan seterusnya
Sebaran umur pada setiap tahap tersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya, antara individu yang satu dengan individu lainnya.
1.      Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)
            Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahan terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya mulai matang. Ia mulai mampu untuk melambangkan objek fisik ke dalam simbol misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan.
2.      Tahap Pra Operasi (Pre Operational Stage)
            Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakannya berbeda pula.
Contoh :
a)      Perlihatkan 5 (lima) buah kelereng yang sama besar di atas meja. Kemudian ubahlah letak kelereng itu menjadi agak berjauhan. Apabila dinyatakan kepada anak yang masih pada tahap ini. Ia akan menjawab kelereng yang letaknya berjauhan lebih banyak.






Diubah menjadi
b)      Perlihatkan dua buah plastisin (lilin lunak/malam) berbentuk bola. Kemudian ubahlah (sambil diperhatikan) menjadi bentuk pipih sehingga tampak lebih besar. Apabila ditanyakan mana yang lebih banyak plastisin itu. Ia akan menjawab plastisin yang bentuknya pipih.Anak berpendapat plstisin A sama dengan plastisin B, tetapi plastisin C tidak sama dengan plastisin D.



A
C

B
D





c)      Perlihatkan kepada anak dua bejana dari gelas yang bentuk dan ukurannya sama dengan dua bejana lainnya berbeda ukurannya. Kemudian kedua bejana gelas yang sama tadi kita isi dengan cairan berwarna sama banyak. Sambil diperlihatkan kepada siswa cairan pada kedua gelas yang sama tadi masing-masing dipindahkan pada kedua gelas yang berbeda. Setelah semuanya dipindahkan lalu tanyakan apakah kedua cairan tersebut sama banyak. Anak pada tahap perkembangan pra operasi akan menjawab kedua cairan itu berbeda.
A
C
Dipindahkan menjadi

B

Dipindahkan menjadi
D

























Banyak cairan bejana C dan D tidak sama

d)     Dua utas tali sama panjang diletakkan di atas meja, kemudian rentangannya diubah. Hasilnya, anak-anak akan mengatakan bahwa kedua tali tersebut menjadi berbeda panjangnya.
c
a                       diubah menjadi
b                       diubah menjadi                 d

Anak berpendapat panjang tali a sama dengan panjang tali b, tetapi panjang tali c tidak sama panjang dengan tali d.

e)      Apabila anak dihadapkan pada suatu daerah bidang datar (terbuat dari kertas berwarna-warni) yang menyatakan luas, kemudian kertas itu dipotong-potong dikumpulkan kembali dengan susunan yang berbeda seperti tampak pada gambar di sampingnya. Anak tersebut mengatakan bahwa luas gambar sebelah kanan lebih besar dari asalnya.

diubah menjadi




Dari contoh-contoh di atas, tampak bahwa anak masih berada pada tahap pra operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan banyak, kekekalan materi, kekekalan volum, kekekalan panjang, dan kekekalan luas. Selain dari itu, ciri-ciri anak pada tahap ini belum memahami operasi yang sifatnya reversible, belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan, belum memahami operasi transformasi (Piaget, 1972 : 39).
3.      Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operation Stage)
Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di Sekolah Dasar, sehingga sudah semestinya guru-guru SD / calon guru-guru SD mengetahui benar kondisi anak pada tahap ini dan kemampuan apa yang belum dimilikinya.
Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasi dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berfikir reversible.
Piaget (Anderson, 1970: 126-127) mengidentifikasi adanya enam jenis konsep kekekalan yang berkembang selama anak berada pada tahap operasi konkrit, yaitu :
a.       kekekalan banyak (6-7 tahun)
b.      kekekalan materi (7-8 tahun)
c.       kekekalan panjang (7-8 tahun)
d.      kekekalan luas  (8-9 tahun)
e.       kekekalan berat (9-10 tahun)
f.       kekekalan volum (11-12 tahun)
Kemampuan mengurutkan objek (serasi) yang dipahami oleh anak pada tahap ini berkembang sesuai dengan pemahaman konsep kekekalan. Kemampuan mengurutkan objek berdasarkan panjang dipahami pada usia sekitar 7 tahun, mengurutkan objek yang besarnya sama tetapi beratnya berlainan dicapai pada umur sekitar 9 tahun, dan mengurutkan benda menurut volumnya dicapainya pada sekitar 12 tahun.
4.      Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)
Anak sudah mulai mampu berpikir secara abstrak, dia dapat menyusun hipotesis dari hal-hal yang abstrak menjadi dunia real, dan tidak terlalu bergantung pada benda-benda kongkrit. Piaget menekankan bahwa proses belajar merupakan suatu proses asimilasi dan akomodasi informasi ke dalam struktur mental. Asimilasi adalah proses terpadunya informasi dan pengalaman baru ke dalam struktur mental. Akomodasi adalah hasil perubahan pikiran sebagai suatu akibat adanya informasi dan pengalaman baru. Mereka secara aktif mencoba menerima ide baru itu dalam kaitannya dengan pengalaman baru, mereka secara aktif mencoba menerima ide baru itu dalam kaitannya dengan pengalaman dan ide-ide lama yang sudah ada. Suatu istilah umum untuk teori belajar Jean Piaget adalah constructivism, karena keyakinannya bahwa para siswa pasti mengkonstruksi pikiran mereka sendiri dan bukan menjadi penerima informasi yang bersifat pasif. Sebagai contoh dalam operasi penjumlahan, anak memahami 5 + 3 = 8 dengan memanipulasi benda-benda kongkret yang telah dia kenal. Misalnya dia mempunyai 5 buah jeruk, kakanya memberikan 3 buah jeruk lagi kepada dia. Dia kumpulkan jeruk-jeruk tersebut kemudian membilang banyaknya buah jeruk yang dia miliki saat ini. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki, dia mampu menyatakan bahwa sekarang jeruknya ada 8 buah. Sekarang dia dapat memisahkan antara konsep banyaknya jeruk, yaitu 8 buah, yang terdapat pada suatu kumpulan dengan cara-cara jeruk tadi ditata atau diatur, yaitu 5 dan 3 buah. Oleh sebab itu, sekarang dia dapat mengkonstruksikan bahwa 8 sama dengan 5 + 3. Dengan perkataan lain, anak pada tahap operasi kongkret sebagai dasar untuk berpikir abstrak.

B.       TEORI BELAJAR BRUNER
Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan.
Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih dipahami dan diingat anak.
Brunner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya.
Nampaklah, bahwa Bruner sangat menyarankan keaktifan anak dalam proses belajar secara penuh. Lebih disukai lagi bila proses ini berlangsung di tempat yang khusus, yang dilengkapi dengan objek-objek untuk dimanipulasi anak, misalnya laboratorium.

Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati 3 tahap, yaitu :
1.      Tahap enaktif
Pada tahap belajar ini anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek.
2.      Tahap ikonik
Pada tahap belajar ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek-objek pada tahap sebelumnya. Dengan kata lain anak dapat membayangkan kembali atau memberikan gambaran dalam pikirannya tentang benda atau peristiwa yang dialami yang dikenalnya pada tahap enaktif.
3.      Tahap Simbolik
Pada tahap ini siswa sudah mampu menggunakan notasi atau simbol tanpa ketergantungan terhadap objek riil.Jadi apabila ia melihat suatu simbol  maka bayangan mental yang ditandai oleh simbol itu akan dikenalnya kembali.

C.       TEORI BELAJAR WILLIAM BROWNELL
Teori belajar William Brownell didasarkan pada keyakinan bahwa anak-anak pasti memahami apa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau secara terus-menerus untuk waktu yang lama. Salah satu cara bagi anak-anak untuk mengembangkan pemahaman tentang matematika adalah dengan menggunakan benda-benda tertentu ketika mereka mempelajari konsep matematika. Sebagai contoh, pada saat anak-anak baru pertama kali diperkenalkan dengan konsep membilang, mereka akan lebih mudah memahami konsep itu jika mereka menggunakan benda kongkret yang mereka kenal, seperti mangga, kelereng, bola, atau sedotan. Dengan kata lain, teori belajar William Brownell ini mendukung penggunaan benda-benda kongkret untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari konsep dan keterampilan baru yang mereka pelajari. Teori belajar William Brownell ini dikenal dengan nama Meaning Theory.

D.       TEORI BELAJAR GESTALT
Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan Kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini :
(a)   Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian
(b)   Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siwa, dan
(c)   Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar
Dari ketiga hal di atas, dalam menyajikan pelajaran guru jangan memberikan konsep yang harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal ini guru bertindak sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan proses melalui metode induktif.
Pendekatan dan metode yang digunakan tersebut haruslah disesuaikan pula dengan kesiapan intelektual siswa. siswa SMP masih ada pada tahap operasi konkret, artinya jika ia akan memahami konsep abstrak matematika harus dibantu dengan menggunakan benda kongkrit. Oleh karena itu dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran mulailah dengan menyajikan contoh-contoh kongkret yang beraneka ragam, kemudian mengarah pada konsep abstrak tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan proses pembelajaran bisa berjalan secara bermakna.
Kita ketahui bahwa faktor eksternal bisa mempengaruhi pelaksanaan dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, sebelum, selama, dan sesudah mengajar guru harus pandai-pandai (berusaha) untuk menciptakan kondisi agar siswa siap untuk belajar dengan perasaan senang, tidak merasa terpaksa.

E.       TEORI BELAJAR DIENES
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai pelajaran tentang struktur, klasifikasi tentang struktur,relasi-relasi dalam struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Ia meyakini bahwa setiap konsep atau prinsip dalam matematika akan dapat dipahami secara penuh konsep tersebut,apabila disajikan dalam bentuk kongkrit dengan berbagai macam sajian. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Dienes membagi 6 tahapan secara berurutan dalam menyajikan konsep matematika, yaitu sebagai berikut.
1.      Tahap Bermain Bebas
Tahap bermain bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak diarahkan. Pada kegiatan ini, memungkinkan anak untuk mengadakan percobaan dan mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda kongkrit dari unsur-unsur yang sedang dipelajarinya. Pada tahap permainan bebas anak-anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan lingkungan belajar atau alam sekitar. Dalam tahap ini juga anak tidak hanya belajar membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap dan mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.
2.      Tahap Permainan
Dalam permainan yang disertai aturan, anak-anak sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tetapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan permainan tadi. Jelaslah, dengan melalui permainan anak-anak diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika. Makin banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep tertentu, maka akan semakin jelas konsep yang dipahami anak. Karena anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajarinya itu.
3.      Tahap Penelaahan Kesamaan Sifat
Pada tahap ini, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula.
4.      Tahap Representasi
Tahap representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak.

Dengan demikian anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
5.      Tahap Simbolisasi
Tahap simbolisasi termasuk tahap belajar konsep, yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol-simbol matematika atau melalui perumusan verbal.
6.      Tahap Formalisasi
Tahap formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini anak-anak dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru dari konsep tersebut. Sebagai contoh, anak-anak yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema, dalam arti membuktikan teorema tersebut.
­­­
F.        TEORI BELAJAR VAN HIELE
Van Hiele adalah seorang guru matematika bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri Menurut Van Hiele, ada tiga unsur utama dalam pengajaran geometri, yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga unsur ditata secara terpadu, akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada tahapan berfikir yang lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu : tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi dan tahap akurasi yang akan diuraikan sebagai berikut :
1.      Tahap Pengenalan (Visualisasi)
Pada tahap ini anak mulai belajar mengenal suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada anak diperlihatkan sebuah kubus, maka ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus tersebut. Ia belum tahu bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang merupakan bujursangkar, anak pun belum mengetahui bahwa bujursangkar ( persegi ) keempat sisinya sama dan ke empat sudutnya siku-siku.
2.      Tahap analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki bangun Geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada bangun Geometri itu. Misalnya pada saat ia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Tapi tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya anak belum mengetahui bahwa persegi adalah persegipanjang atau ,persegi itu adalah belah ketupat dan sebagainya.
3.      Tahap Pengurutan (Deduksi Informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mengenali bahwa persegi adalah jajaran genjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya berbentuk persegi . Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjangnya. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga yang kongruen.
4.      Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian. Tetapi anak belum mengerti mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil
5.      Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berfikir ini.